Christ menggenggam jemari Camila.
Di kokohkannya pelukannya, seolah Camila terlalu rapuh untuk menopang diriny sendiri.Wajahnya masih sembab, bahkan masih ada bulir bulir bening menghiasi pipiny. Christ mendekap Camila lembut. Membawanya menjauh dari makam kedua orang tuanya.
Camila tergambar kenangan yang teramat menyakiti nya, kejadian yang merubah takdir hidupnya.
Kepahitan yang masih membekas kedalam ingatannya. Seperti belenggu rasa bersalah yang terus menggelayuti langkah kecilnya.
"Di sana ada restorant, kita mampir sebentar, aku ga mau di sangka orang habis jahatin kamu." Ucap Christ. Camila mengangguk pelan.
Mereka masuk ke sebuah Restaurant yang tak terlalu besar, duduk di pojok, meja dengan dua kursi berhadapan. Mereka duduk berhadapan.
"Aku mau cuci muka sebentar." Bisik Camila, sembari berlalu meninggalkan Christ.
Camila merasakan dinginnya air melarutkan seluruh dukanya, ketika bersentuhan dengan kulitnya.
"Kupikir tidak akan pernah melihatmu lagi seumur hidup." Sebuah suara mengagetkan Camila, suara yang tidak berubah. Memaksanya menoleh
Mereka sama sama terpaku, dalam kebisuan yang lama. Camila menundukkan wajahnya. Tak menemukan kalimat sapaan yang pas. Rindu yang membuncah, dan sakit yang memahat hatinya hanya terluap lewat bulir air mata.
"Kamu kembali, akhirnya" Bisik lelaki yang berdiri kokoh di hadapan Camila, dengan kulit gelap dan jangkung, sedikit kurus dan tampak tak terurus.
"Dion..." bisik Camila, lelaki itu tersenyum sinis.
"Masih ingat namaku?" Ujarnya sembari terkekeh, tapi Camila tak merasakan kelucuan dari kalimat itu. Tentu saja dia tidak akan bisa melupakan Dion, sosok yang bertahta di hatinya bertahun tahun lamanya.
Sosok yang membersamainya tumbuh. Mengajarkan kepadanya arti sebuah senyuman dan air mata.
"Kamu..kaa..muu..?" Pertanyaan Camila tercekat di tenggorokan.
"Kenapa? Kamu heran kenapa aku bisa bebas?" Dion tersenyum kecut.
Camila mengangguk pelan. Serpihan serpihan kenangan masa lalu membayang di matanya.
"Karena aku tidak bersalah Mila, aku berusaha menjelaskan itu berkali-kali kepadamu." Desis Dion menahan amarah. Ada kilatan aneh di matanya yang tajam seolah menembus tubuh Camila yang dingin.
"Aku..." Camila menghentikan kalimatnya menangkap sosok Christ tampak mencari carinya.
"Aku harus pergi." Bisik Camila sembari bergegas menghampiri Christ.
"Kamu lama banget sih?" Tanya Christ tak sabar. Camila tersenyum janggal.
"Kita pulang sekarang aja." Katanya sembari menggeret tangan Christ yang sedang keheranan.
"Lho bukannya kereta kita masih besok pagi?" Tanya Christ saat mereka sudah di jalan besar di depan Restaurant. Camila terdiam. Membangun dinding dengan kebisuannya. Ingin rasanya dia segera berlari.
Kelebatan masa lalu membayang, wajah kedua orang tuanya yang terbaring pucat.
"MILA!!" Sebuah tangan menarik lengannya dengan kasar, Camila tersentak, ketika lampu sudah menyala hijau dan mobil di perempatan mulai melaju kencang.
"Apa kamu ga bisa jaga diri?" Dion memarahinya, wajah Camila memerah, belum sadar sepenuhnya dari kekagetannya.
"Camila? Are you ok?" Suara Christ yang baru menyeberang kembali.
"Yes I'm fine." Kata Camila.
"Kebiasan burukmu ga berubah, suka menghayal sambil jalan." Kata Dion sambil melenggang pergi.
Camila menatap punggung Dion yang menjauh. Christ mengernyitkan dahi.
"Dia kenal kamu?" Tanya Christ. Camila tak menjawab.
******
Dion berdiri di ujung peron, sedikit tersembunyi di balik pilar besar, di sisi lain Camila sedang duduk menunggu Kereta yang akan membawanya kembali ke kehidupan barunya.
Dion mengepalkan jemarinya kala dilihatnya Lelaki di sisi Camila memeluknya dan membiarkan kepala Camila bersandar di bahu kekarnya.
Ada sebagian hatinya teriris perih. Seharusnya dia yang ada di sana, seharusnya dia yang menjadi tempat bersandar Camila.
Dia sudah merelakan masa mudanya demi Camila, demi bisa memberikan sayap kepadanya.
Dia yang membasuh setiap luka Camila, dia yang menjadi tameng setiap cambuk yang di terima Camila.
Tidak bisakah dia memeluknya, sedetik saja.
Di bulatkannya tekad, dia ingin bicara sebentar saja, setidaknya dia berhak memberikan penjelasan.
Dion melangkah pelan. Dia berhenti ketika melihat lelaki di sebelah Camila berdiri dan menjauh. Dia mendekati Camila dan duduk membelakanginya.
"Setidaknya aku berhak untuk memberikan pembelaan diri." Kata Dion Lirih Camila menoleh sejenak. Lalu kembali menunduk.
"Aku harus segera pergi. Suatu hari aku akan kembali Dion. Mungkin saat itu aku sudah siap mendengarkanmu. Tapi tidak saat ini. Beri aku waktu." Kata Camila.
"Setidaknya berikan aku sebuah pelukan Mila, aku merindukanmu." Ucapan Dion terdengar begitu putus asa. Camila menggigit bibirnya. Menahan gejolak kerinduan yang telah tertutup luka hati, yang menganga lebar.
*******
Christ mendekap erat tubuh Camila, Gadis itu kembali membeku, terlelap di pelukannya. Seribu pertanyaan di benak Christ tidak terjawab. Camila tetap diam. Siapa lelaki itu. Yang sejak tadi mengikuti mereka.
Christ melihat Camila berbincang dengan nya sambil menangis, juga ketika lelaki itu menyelamatkan Camila ketika hendak tertabrak. Lalu di Stasiun kereta, lelaki itu berbicara secara samar dengan Camila.
Di mata mereka ada cinta, ada sebersit rasa yang sama sama tak terungkap.
Christ mempererat dekapannya. Dalam hati kecilnya dia berjanji akan menjadi tempat bersandar bagi Camila.
******
,Camila memperhatikan tetesan hujan yang turun melalui jendela.
"Anak gadis jangan kebanyakan melamun" sebuah suara membuyarkan lamunan Camila.
"Bunda." Kata Camila setengah berbisik.
"Kangen ya? Sama Dion?" Pertanyaan Bundanya memerahkan pipi Camila.
"Bunda Ih, apaan sih?" Camila memeluk tubuh kurus Bundanya, yang saat ini terbaring lemah di rumah sakit.
Penyakit Kanker stadium lanjut sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Camila selalu sabar menunggui ibunya.
Dion, kekasih hatinya. Sahabat yang mewarnai seluruh masa remajanya.
Kekasih yang membuat rona merah di pipinya semakin sering merekah.
Dion...
Camila tersentak dari lamunannya, airmatanya tak terasa menetes perlahan.
Dion cinta pertamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In Pain
RomanceProlog Sore itu langit sedang bergemuruh. Diantara awan berwarna abu-abu pekat, Camila mendesah bosan di meja ruang kerjanya. Pekerjaannya sebagai admin di sebuah kantor pemasaran Brand Broadbrand ternama sudah selesai semenjak tadi. Camila melirik...