Baru beberapa bulan aku dan kamu meninggalkan orangtua masing-masing. Hidup berdua di atap yang sama. Dari kecupan di sebelum tidur, hingga pelukan di seba'da lelap. Bersama. Belajar mengarungi bahtera rumah tangga dengan cinta.
.
Setelah mengucapkan salam di tadi sebelum Shubuh, tetiba saja kamu menghampiriku. Dan, dengan balutan mukena putih kamu memelukku. Erat. Erat sekali. Seakan kamu tak ingin melepasnya. Lalu, seketika saja ada isak yang mulai lirih terdengar. Saat aku mengangkat kepalamu dari dekapku, yaa Allah, matamu sudah basah, juga merah. Kamu menangis. Menangis dalam pelukku.
.
"Kenapa?" tanyaku sambil menggenggam jemarimu kuat-kuat.
.
Sambil terisak-isak, kamu menjawab, "Aku kangen bapak, mamah, sama si dede, Bi."
.
Aku tersenyum kecil. Lalu meraih bahumu, untuk kemudian mewakafkan dada ini agar kau terpuas meneteskan derai mata di sini. Di dinding hati ini.
.
Istriku, kamu rela meninggalkan keluarga tercintamu demi diriku, lelaki yang baru dikenalmu ini? Ah, seharusnya aku malu. Malu jika tidak bisa membuatmu tersenyum, Sayang.
.
Istriku, kamu mengabdikan diri untuk mengurus, merawat, dan menjagaku sepenuh hati padahal dulu... Padahal dulu kamu hidup bahagia bersama keluargamu. Masya Allah.
.
Sungguh benar kata ulama itu. "Aku heran," ujarnya, "Mengapa banyak suami yang tega membentak, memukul, bahkan mengusir istrinya. Tidakkah mereka sadar bahwa perempuan mulia itu, sebelum bertemu dengan-nya, amat berbahagia bersama orang-orang yang mencintainya?"
.
"Aku bingung," sambung ulama itu, "Mengapa banyak suami yang matanya tergoda dengan paras yang lebih jelita. Padahal di rumah, ke dua matanya, setiap detik melihat dengan jelas kebaikan-kebaikan istrinya."
.
Yaa Allah istriku, padamu, hanya terima kasih yang bisa kuhaturkan atas segala pengorbananmu. Padamu, hanya seutas maaf yang mampu kumohonkan atas tetes mata yang kaujatuhkan karena ketidaksempurnaanku. Terima kasih, maaf. Ya. Dua kata itu akan senantiasa kudesiskan kepadamu.
.
"Sayang," hiburku, "Jadilah istri yang shalehah, ya. Agar kelak surga membukakan pintunya untukmu. Yang semoga dengan begitu, kamu bisa mengajak keluargamu ke sana. Bersama. Menikmati hujan nikmat yang tak mengenal reda."
.
"Abi?" tanyamu seraya menengadah menatapku, "Kenapa abi ikutan nangis?"
.
Aku mengerjap-ngerjap mata, pura-pura kelilipan. Lalu dengan ujung jempol, menghapus setetes embun yang menggumpal di pelupuk mata.
.
"Istriku," lirihku dalam hati, "Bagaimana mungkin aku tidak menangis, sedang jiwa ini merasa haru dan bersyukur sebab Allah... Sebab Allah telah mengaruniakan seorang bidadari untukku. Bidadari yang aku yakin, akan menjadi ratu di Firdaus-Nya nanti. Insya Allah."