1

458 43 2
                                    

Hari ini.
Mereka bertatapan, gugup seperti dua ekor binatang liar yang tiba-tiba berhadapan di tengah hutan. Re mundur.

Tak ada jalan keluar.

Dinding kayu yang beku menyentuh ujung bahunya. Ia menggeser beberapa langkah ke kanan sambil berbisik pada dirinya sendiri untuk tidak panik.

Tapi, pepohonan saling bertabrakan mengeluarkan bunyi seperti melolong. Ditingkahi jendela kayu yang berderak-derak dibentur angin tanpa henti. Sementara di luar, terpampang jalan tanah yang sempit, terus-menerus diterjang hujan yang kini berubah menjadi semacam anak sungai.

Badai tampak lebih menakutkan seperti tak ada batas antara langit yang telanjang dengan tempat terpencil ini. Ia merasa seolah tengah berlutut dalam pusaran badai.

Tanpa terduga, sebuah bunyi keras memekakkan menghantam jendela kecil itu,  melemparnya seperti piring terbang. Jendela yang terempas itu, melongo, menganga, memamerkan alam yang dahsyat ke arah lautan di mana ombak mengamuk dan menggerus  tiap bibir pantai yang disentuhnya, kemudian memecah menjadi buih-buih putih yang menggerombol meraksasa.

Lautan yang luas bergolak dengan kegilaan yang tak bisa ditawar, apalagi diredam. Dan mereka terjebak! Di situ.

Angin menampar wajah Re, memaksanya untuk memicingkan mata. Sementara dari celah-celah bilah bambu, tak ubahnya pencuri yang mengendap-endap masuk, udara yang gigil mulai menerobos dalam diam.

“Lompati api itu!” teriakan lelaki itu menyadarkannya. Napas Re naik-turun dengan cepat. Tapi, dia masih membatu di tempatnya.

“Menjauhlah dari jendela itu!"

Lelaki itu menyadari keraguan Re, menghitung dengan cermat lalu detik berikut,  ia melompat. Badannya berkilat dalam cahaya api, datang melayang dengan kecepatan tinggi. Dalam sekejap, sudah berada tepat di depan Re.

Dadanya yang bidang menabrak dahi Re. Lelaki itu mundur selangkah tanpa mengalihkan pandangan dan Re berdiri kaku laksana sebuah patung, balik menatap dengan terkesima.

Sekian jeda berlalu dalam diam yang menyiksa membuat Re lupa akan perasaan malu. Dalam cahaya api unggun, tubuh lelaki itu seakan memerah. Re ingin bicara, tapi mulutnya terkunci. Pikirannya menjadi bernyala-nyala terhadap lelaki yang berdiri sangat dekat di hadapannya. Terlalu dekat hingga jari-jarinya seperti terbakar.

Belum hilang rasa terkejutnya, tanpa berkata sepatah pun, lelaki itu menarik tangannya dengan satu sentakan kuat dan menyeretnya menjauhi jendela yang menganga. Menuju bagian sudut yang lebih terlindungi.

Sedikit tekanan di bahunya, isyarat dari lelaki itu agar mereka segera merunduk. Bersimpuh di lantai tanah yang membeku. Re merasakan gigil mencubiti seluruh permukaan kulit. Apalagi hanya dengan selembar pakaian melekat di tubuhnya.

Dalam cuaca yang menggila, mereka merasakan badai seolah menancapkan kukunya di pondok tua yang sebagian sudah doyong ke samping itu.

Mereka mendengar suara dengkingan angin menyapu dinding kayu, suara gemuruh laut yang bergejolak seakan belum puas memuntahkan isi lautan dan suara keributan di puncak-puncak pohon.

Tiap saat api yang akan mati itu bergerak, berayun-ayun dan Re menanti dengan waswas. Di tengah kegaduhan angin dan dalam kesuraman yang mencekat, tercium asin  laut merambas, bergantungan di udara. Bibir Re bergeletar membiru.

Lelaki itu seperti dapat menebak jalan pikiran Re. Ia merapat dan tanpa ragu merenggut tubuh Re, memeluknya. Gerakan yang mengejutkan itu membuat Re tercekat. Ia dapat mendengar denyut nadi lelaki itu. Aroma tubuhnya. Hangat  embusan napasnya. Re hampir tak berani bernapas. Apalagi bergerak.

Tangan lelaki yang kokoh itu membenamkan kepala Re ke dalam dadanya dan kehangatan perlahan namun pasti menjalar, menjelajahi ujung jemari Re hingga kepala. Berbalur dengan kenyamanan yang mampu mendobrak kebekuan di kulitnya. Lelaki itu telah menghilangkan gigilnya dan mengembalikan kesadarannya. Rasa yang telah lama hilang itu kini dicecapnya bersama seorang lelaki asing.

Lelaki itu mempererat dekapannya, dengan suara seakan berasal dari negeri yang jauh, ia berbisik menenangkan,

“Tenanglah, ini agar kau tidak terkena hipotermia.”
Suara lelaki itu meredam gelisahnya. Re menghitung menit-menit yang berlalu, tapi terasa seabad baginya. Lalu nyala api yang mulai menyuram itu akhirnya benar-benar hilang dalam pandangan. Re tak memiliki gambaran apa pun di kepalanya.

Rangkaian kalimat panjang penuh protes yang siap merentet keluar, menghilang begitu saja.

Tak ada sesuatu yang benar-benar dapat membawanya lari dari kekacauan sesaat, selain bayangan pepohonan yang melintas di benaknya dengan akar kokoh mencengkeram.

Itu adalah akar pepohonan mangrove yang selama ini ia rawat sepenuh hati, yang akhirnya turut menggelap di matanya.

Tbc

More Than BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang