7

121 26 0
                                    


Lahan pembibitan mangrove itu terletak bersebelahan dengan beberapa petak tanah yang biasa digunakan sebagai areal pembelajaran bagi masyarakat setempat, mulai dari kandang sehat, reaktor biogas, hingga penjernihan air.

Jinan memasukkan bibit mangrovedengan hati-hati agar akarnya tidak rusak ke dalam polybag.

Sebelumnya ia sudah membuat lubang kecil sebanyak sepuluh di kantong hitam itu.

Semua penyemaian dilakukannya di bawah naungan yang terlindung dari sinar matahari.

Ia masih serius memisahkan bibit mangrove yang berumur antara empat sampai enam bulan, ditandai dengan tiga hingga empat helai daun yang bermunculan, ketika Re datang dengan menyeret kaki.

“Kau cerita apa padanya?” sembur Re, begitu mereka berhadapan.

Jinan cengengesan.
“Berhenti bercanda.” Re masih bersungut-sungut.

“Kau dan Novan pasti sudah tahu sebelumnya kalau dia itu salah satu penyelam NGO asing itu! Kenapa kau sengaja menyembunyikannya dariku? Membuatku terlihat idiot di depannya kemarin.”

“Itu kulakukan karena sepertinya dia menaruh perhatian padamu,” jawab Jinan santai.

Sok tahu kau!” dengus Re.

“Aku yakin, kok. Dia serius sekali bertanya tentang alasan kau berhenti menyelam,” balas Jinan, tak mau kalah.

“Jangan-jangan kau juga bilang kalau....”  Wajah Re memucat.

“Ya,” Jinan segera memotong ucapan Re.

“Maaf kalau kau tersinggung. Kubilang padanya kalau calon suamimu meninggal sewaktu diving dua bulan sebelum pernikahan kalian.”

“Apa?!” Re menjerit. Beberapa rekan kerja mereka sempat menoleh.

“Kau... kau keterlaluan!” sentak Re emosi.

“Aku sengaja. Biar dia tahu kalau kau tak punya kekasih. Biar dia punya keberanian mendekatimu. Dengar, aku tak ingin kau sendirian lagi. Ini sudah hampir tiga tahun. Kau harus melanjutkan hidupmu,” cerocos Jinan panjang lebar.

“Jinan....” Hidung Re memerah dan mulai berair.

“Kau tega melupakan Mailo.”

“Mailo memang sepupuku. Tapi, kau juga sahabatku. Sampai kapan kau akan mencumbui mangrove ini sendirian?” ujar Jinan berapi-api.

“Kau harus melepas Mailo. Kau sendiri yang akan terluka bila begini terus-menerus.”











 
***









Yang paling menarik perhatian Re di pulau itu adalah sebuah mercusuar yang ditopang oleh tebing-tebing batu karang yang seolah muncul dari laut. Di kaki batu karang itu, arus menimbulkan bunyi gemuruh yang terus menerus.

Pada hari-hari di mana angin bertiup, di situ penuh dengan pusaran air. Pantainya berbatu-batu dan terpencil. Sejauh mata memandang, tampak perahu-perahu kecil penangkap ikan yang tak terhitung banyaknya seakan-akan berhamburan.

            Jalan yang diikuti gadis itu menuju ke menara mercusuar terus menanjak. Tapi ia tetap mendaki. Sekali waktu, ia memandang ke bawah, ke laut melalui celah-celah pepohonan di mana puncak-puncak ombak yang memutih itu memecah.

            Ketika Re mengitari lereng bukit, angin mati sama sekali seakan-akan ia memasuki sebuah perangkap. Alam sekitar mercusuar juga begitu sepi dan tenang seperti tengah tertidur.

Melewati lereng, Re dapat melihat rumah kediaman pengawas mercusuar, semua jendelanya tertutup, begitu pula gordennya. Ia terus mendaki sampai ke anak tangga batu yang menuju ke mercusuar itu. Kondisinya sama, tak ada tanda-tanda orang di menara pengawas itu.

Ia melanjutkan pendakian ke bukit yang berada di belakang mercusuar itu. Bukit itu betul-betul sunyi. Tak seorang pun tampak. Bahkan tak ada seekor anjing yang tersesat.

Tapi pemandangan yang menakjubkan di sekitar bukit telah membayar rasa penasarannya pada mercusuar tadi.

Tampak jalan menurun di sebelah kanan, tertutup oleh semak dan ilalang. Rupanya sudah lama tak terjamah kaki manusia.

Di tempat itu, di bagian selatan pulau, angin tidak bertiup kencang karena dihalangi oleh perbukitan. Sinar matahari memantul ke lautan yang jauh membentang.

Batu karang yang seakan-akan masuk ke laut dengan tiba-tiba, sesekali ujung-ujungnya yang runcing kecokelatan memunculkan diri di tengah laut yang biru kehijauan. Sementara ombak-ombak besar mengempaskan diri, membentuk kabut air raksasa.

Re ingin menenangkan diri dari kebimbangan yang menyergapnya sejak seminggu belakangan.

Apakah kini saatnya untuk melepas Mailo?

Pipinya memerah.

Re meletakkan telapak tangan di pipinya untuk merasakannya.

Timbul perasaan asing yang membuatnya terduduk tanpa bergerak dan merasakan dirinya dalam kegusaran yang meluap.



(tbc)

More Than BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang