***
Mungkin laut akan bisa menghapus keresahan hatinya. Menjawab percakapan yang membisu itu, walau hanya untuk sementara.
Lelaki itu mendengar ombak mengempas bibir pantai dan itu seakan-akan aliran darahnya sendiri yang sejalan dengan gerakan pasang surutnya laut.
Ombak seolah mengejeknya, bergantian, bergulung menghantam pantai, menghantarkan gemuruh untuk lalu surut lagi.
Lelaki itu begitu memusatkan perhatiannya pada pikirannya yang kacau hingga tak menyadari datangnya empasan ombak menerpa dirinya dan membasahi betisnya. Meninggalkan jejak berupa butiran pasir halus di kakinya.
Angin pagi yang dingin bertiup menyapu tubuhnya yang mulai terasa lengket. Permukaan laut yang tampak jauh dari pantai masih diselimuti pagi buta. Dalam keremangan cahaya pagi, percikan air laut menampar wajahnya.
Garam laut merembes di sela-sela bibir dan pipinya. Dan ia terkenang akan rasa bibir dari gadis yang telah memporak-porandakan hatinya dan kerap membuatnya kehilangan akal sehat.
Penyesalan telah memisahkan lelaki itu dari semua perasaan yang bisa membuat seseorang berpikir jernih. Sebab, sesungguhnya ia datang ke pulau ini karena dia membawa perasaan menyesakkan yang saling berjejalan, saling tumpuk, menunggu diledakkan.
Tiga tahun sudah ia digempur rasa bersalah sejak kejadian nahas itu. Ia memang pengecut. Bajingan rendahan yang tak memiliki keberanian untuk mengakui semuanya.
Tahun-tahun di mana sebelumnya ia terlampau letih digelayuti beban penyesalan yang mengimpit, membuatnya tak ubahnya sesosok mayat berjalan. Ia hidup bukan sebagai dirinya, tapi menjadi sesosok Mailo. Berharap semua penyesalan itu dapat dibayarnya dengan sebuah tanggung jawab seumur hidup.
Menggantikan tanggung jawab Mailo, menikahi calon istri Mailo yang ia dengar kabar beritanya begitu terpuruk sejak kematiannya.
Akulah penyebab kematianmu, Mailo. Aku sama saja telah membunuhmu.
Seharusnya kau tak perlu menyelamatkanku.
Lebih baik bila kau meninggalkanku saat itu, jadi aku tak perlu hidup seperti ini.
***Desa itu masih terkubur dalam pagi yang dingin ketika atap-atap rumah mulai bermandikan cahaya mentari pagi yang kuning keemasan.
“Aku tak tahu bagaimana menyampaikan kabar buruk ini,” Novan memandang wajah sahabatnya itu.
“Aku baru mengetahuinya tadi malam, sewaktu Hasby menelepon. Sepanjang malam aku tak bisa tidur memikirannya, apakah sebaiknya aku memberitahumu soal ini atau tidak.” Raut wajah Novan terlihat begitu putus asa.
Jinan menegakkan tubuh condong ke arah Novan. Kelihatannya ini bukan main-main.
“Aku rasanya seperti tak ingin percaya, sewaktu Hasby berkata bahwa lelaki itu adalah orang yang diselamatkan Mailo.”
Jinan membatu. Dadanya terasa sesak.Seolah ia baru saja mendapat serangan asma yang akut. Ini takdir yang mengerikan.
Padahal Re baru saja sekejap merasa bahagia. Padahal gadis itu….
Sontak Jinan teringat ucapan Re di lahan pembibitan tempo hari sewaktu mereka beradu argumentasi.
“Apa kau masih trauma dengan kecelakaan yang menimpa Mailo sewaktu penyelaman itu?” tanya Jinan hati-hati takut menyulut emosi Re.
“Itu bukan kecelakaan!” tegas Re.
“Itu takdir Mailo,” ujar Jinan, mencoba menenangkan.
“Itu sama saja dengan membunuhnya!” Ekspresi Re tampak beku.
“Dengar, Mailo tidak pergi sia-sia,” hibur Jinan.
“Kau tak tahu rasanya kehilangan...,” desis Re.
“Mailo sudah melakukan yang terbaik. Dia menyelamatkan nyawa orang lain.” Jinan mencoba menasihati.
“Kau seharusnya merelakannya,” tambah Jinan.
”Bagaimana aku bisa rela? Kenapa tidak orang itu saja yang mati? Kenapa harus Mailo-ku?” desis Re geram.
“Jadi kau membencinya?” tanya Jinan kaget.
“Ya. Aku membenci orang itu setengah mati. Yang sudah merampas Mailo dariku.”
(Tamat)
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Blue
RomanceRe, seorang pekerja LSM lingkungan, memiliki trauma atas meninggalnya kekasihnya, Mailo, yang tewas saat menyelamatkan rekannya saat diving. Re pun tidak bisa melupakan Mailo, hingga kemudian datang seorang pria yang mengingatkan Re pada kekasihnya.