9

157 33 0
                                    

Lelaki itu menuruni bukit dengan cepat, tepatnya meluncur dengan deras, tak peduli dengan benturan-benturan yang beradu dengan kedua tungkai kakinya.

Wajahnya mengeras. Garis-garis kecemasan terukir di sana. Kedua bola matanya melahap liar, menjelajahi alam sekitar.
Sesekali ia berteriak, menyerukan nama Re.

Namun, tak kunjung ada balasan. Seharian sudah ia mengelilingi semua tempat yang ia duga akan didatangi gadis keras kepala itu. Tapi, sampai menjelang matahari tergelincir dan membalut tubuhnya dalam cahaya kemerahan, ia belum juga berhasil menemukannya.

Ia tak akan begitu cemas seandainya Re bukanlah gadis nekat yang pernah ditemukannya dalam badai. Ingatannya tak pernah terhapus, masih begitu jelas bagaimana mereka bertemu pertama kalinya dalam cengkeraman badai.

Re yang nekat, keras kepala sekaligus rapuh. Ia tak ingin sesuatu terjadi pada gadis itu. Yang sejak pertama kali berada dalam dekapannya, jauh dalam hatinya ia merasakan, gadis itu sangat membutuhkannya.










***














Tik-tok, tik-tok. Waktu seakan berjalan begitu lambat seperti bayi yang baru belajar merangkak. Entah sudah tak terhitung berapa banyak Jinan mondar-mandir dalam ruangan kecil yang terasa makin pengap. Novan menepuk-nepuk  bahunya, seolah menenangkan, bahwa rencana mereka akan berjalan lancar.
















***














Langit pelan-pelan memancarkan cahaya kelabu yang makin lama makin menguat. Wajah lelaki itu tegap menghadap ke angkasa, memusatkan perhatiannya pada awan yang sebentar-sebentar diterangi kilat. Ia harus segera menemukan Re.

Tetes air satu per satu jatuh menyapu wajahnya. Hujan mendadak seperti tertumpah dari langit, menghantam talang atap dan percikan airnya menerpa daun-daun jendela. Ia bergegas mengenakan tudung kepalaraincoat-nya dan melangkahkan kaki lebar-lebar, menembus jutaan jarum air.

Kini ia mulai paham akan hatinya yang mendadak melankolis. Rasa gelisah takut kehilangan membuatnya egois. Ia pikir ini hanyalah sesuatu yang dapat dipendam. Namun ia salah besar.

Nyatanya ia tak sanggup menahannya. Ia tak akan ragu lagi.

Jalan yang diikuti lelaki itu telah berubah dari retak-retak menjadi becek dan sedikit lengket.

Air hujan bahkan menembus sepatunya. Mempersulit langkahnya dan karena ia tidak berpayung, dapat dirasakannya air hujan terkucur dari celah-celah rambut menuruni leher. Tapi ia terus melangkah.

Agak ke bawah dari menara mercusuar, sebuah gudang kecil yang sudah tua dikelilingi pepohonan, ke sanalah lelaki itu mempercepat langkahnya. Dalam hati ia merutuki kebodohannya. Mengapa hal ini tak terpikirkan olehnya kemarin?

Lelaki itu melongokkan kepalanya ke dalam ruangan yang remang-remang. Matanya memicing, berusaha beradaptasi dengan minimnya cahaya yang ada.


Setelah benar-benar berhasil mengenali keadaan sekitar, tenggorokannya tercekat.

Urung bibirnya menyuarakan sebuah nama.
Senter kecil itu lolos dari tangannya, meluncur deras, menghantam lantai. Bulatan cahaya berjumpalitan, menggelinding dari corong senternya, menyapu penjuru ruangan.

Tepat pada saat itu, sebuah gerakan menggeliat di balik lampu darurat yang berpendar seadanya. Seseorang mengangkat kepalanya dan memandang ke arah sosok lelaki itu. Seseorang itu adalah Re.

More Than BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang