8

127 25 0
                                    

Demikianlah, dengan meletakkan kepala di atas lututnya, Re dibaluri perasaan yang ia sendiri bahkan sulit menerjemahkannya. Ia tak menyadari berapa lama ia larut dalam kebimbangan.

Namun, ketika ia mengangkat kepala dan membuka mata, sontak ia tergeragap saat mendapati seraut wajah lelaki yang menatapnya dengan lekat dan sungguh-sungguh, yang tiba-tiba muncul di depannya tanpa suara.

Ia bahkan tak berani bermimpi tentang pertemuan yang begitu mengejutkan dan ia tak percaya pada matanya.

Akhirnya, lelaki itu berkata,

“Pantas saja aku sukar mencarimu. Ternyata di sini, ya, persembunyianmu,” candanya.

“Atau jangan-jangan kau memang suka membiarkan diri tersesat, seperti pertama kali kita bertemu?”

Mau tak mau Re tersenyum mendengar sindiran lelaki itu.

Lalu ia memandang dengan mata yang seolah bertanya, bagaimana lelaki itu bisa menemukan dirinya di sini.

Tapi, mata yang ditatapnya itu seperti telaga tenang tanpa riak, menawarkan kehangatan.

Lelaki itu berjongkok dan memajukan wajahnya beberapa senti ke depan dan berkata sambil berkelakar,

“Aku menyogok Jinan dan memaksanya untuk memberi tahu keberadaanmu.”

Re tak tahu harus menjawab apa. Ia sibuk merutuki diri. Kenapa harus bertemu lagi dengan lelaki itu dalam keadaan yang selalu konyol dan membuatnya terlihat memalukan?

“Sudah seminggu lebih kau sepertinya menghindariku....”
Lelaki itu menghela napas.

“Apa keberadaanku membuatmu tak nyaman?”
Re menggeleng pelan.

Dia menghindari lelaki ini karena takut suatu hari nanti ia akan mencandu dirinya dan melupakan Mailo.
 












***











Pasir belum begitu panas untuk menghanguskan telapak kaki dan lelaki itu berharap air laut dapat mendinginkan kepalanya.

Karena, bila ia beristirahat sehari saja, maka ia akan dikoyak-koyak oleh rasa jemu menangggung rindu untuk bertemu dengan gadis keras kepala itu.

Tak ada yang bisa diperbuatnya selain menunggu dan menunggu. Tersiksa dengan sesuatu yang menggelitik di dadanya, membuncah tiba-tiba setelah sekian lama tak menjumpai situasi seperti ini.

Aroma laut yang khas memenuhi udara. Berbarengan hidungnya yang mendadak bersin –barulah ia teringat akan tubuh basahnya.
 













***













“Apa? Re menghilang?” Lelaki itu terbeliak.

Jinan mengangguk cepat. Wajahnya tempias pucat.

“Aku bersama Novan sudah mencarinya seharian ini ke tempat yang sering ia datangi, tapi hasilnya nihil.”
Jinan menelan ludah.

Tubuhnya bergerak-gerak gelisah.

“Aku mengkhawatirkannya. Sudah beberapa hari ia tak mau berbicara denganku.”

“Kalian bertengkar?”

“Kurasa ia marah karena aku menyuruhnya untuk melupakan Mailo.”

Lelaki itu sempat terkejut, tapi dia berupaya tidak mengindahkannya.

“Kau yakin dia menghilang? Jangan-jangan dia hanya keluar pulau, mungkin berbelanja kebutuhan logistik.”

“Tidak. Aku yakin sekali karena….” Jinan menggigit bibir. Matanya memancarkan keraguan.

Apakah ia harus mengatakan segalanya? Tak ada jalan lain.

“Karena apa?” tanpa sadar lelaki itu menaikkan suara satu oktaf lebih tinggi. Kecemasan tergambar jelas di wajahnya.

“Karena hari ini adalah tanggal kematian Mailo.”

Tangan lelaki itu luruh seketika. Bahunya merosot turun dan kepalanya tertunduk.

“Biasanya Re akan menghabiskan hari dengan bekerja seharian penuh. Dia memang seperti itu. Keras kepala. Dia bahkan tak pernah membiarkan dirinya menangis,” jelas Jinan.

“Sabtu ini, jadwal kerjanya adalah mendongeng mangrove. Dia bahkan sudah mempersiapkan banyak boneka jari sejak minggu kemarin. Anak-anak sudah menunggu sedari pagi dan dia tak muncul juga...,” tambahnya.

Terdengar deburan ombak di kejauhan, yang datangnya seperti suara celoteh tak keruan para pemabuk.


Tbc

More Than BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang