Limabelas menit sudah Putri menyalin PR Dimas. Tak lupa, ia juga membiarkan satu soal tetap kosong agar Bu Metya guru Fisika tak terlalu curiga nantinya. Putri lalu menyenderkan kepalanya di atas meja, lelah.
Sementara Dimas tersenyum, sambil fokus membaca tangannya mengelus puncak kepala Putri. "Duh, capek ya, sayangku."
"Apaan sih keong mas, mulai lebay deh lo," Putri menyingkirkan tangan Dimas dari puncak kepalanya yang hanya dibalas dengan kekehan ala Dimas.
"Yeee, mesra dikit enggak apa-apa dong."
"Tai lo. Emang sejak kapan kita pacaran, heh?"
"Sejak kita masih dalam kandungan, mungkin," ucap Dimas dengan enteng.
Sebenarnya status Dimas dan Putri bukanlah pacaran. Namun karena dari kecil selalu bersama, mereka tampak lebih dari hanya sekedar berpacaran dan mereka selalu saling support satu sama lain.
"Oh iya, Put. Bentar lagi kan ada camp sekolah, tapi kayaknya gue enggak bisa ikut deh."
"Loh, kok? Kenapa emang, lo? Gak usah sok sibuk deh," ujar Putri sedikit kesal, padahal kemarin Dimas begitu antusias ingin mengikuti camp sekolah.
"Hehe, ya gitu. Gue mau nemenin nyokap aja liburan ke Bali."
"F*ck!"
Putri bangkit dari kursinya, ia sebenarnya tahu kalau Dimas sebenarnya berbohong. Tapi entah kenapa Putri merasa kesal. Meskipun begitu Ia tidak dapat melampiaskan kekesalannya tersebut pada sahabatnya. Ia lebih memilih pergi mencari Ncep, kekanakkan memang.
"Eh, Cep. Pinjem pulpen lo dong."
"Bu-buat apa ya?" tanya Ncep sedikit gugup. Ncep adalah cowok paling nerd di kelas. Dan kalau ditanya siapa yang paling menakutkan, ia pasti akan jawab Ayunia Putri-lah yang paling menakutkan.
"Banyak nanya lo," Putri menarik dasi Ncep hingga hampir tercekik. Tanpa pikir panjang lagi, Ncep langsung menyerahkan sebuah pulpen pada Putri.
"I-ini pu-pulpennya."
Putri tersenyum, "Nah gitu dong. Anak pintar!"
Putri melepaskan cengkeramannya. Ia lalu mengelus kepala Ncep sambil sedikit menjambaknya. Bel masukpun berbunyi, semua siswa berhamburan masuk ke kelasnya masing-masing.
PlokSebuah benda baru saja mendarat di pantat Bu Metya. Guru Fisika yang sedang menulis sebuah penjelasan di white board itu sontak menghentikan aktivitasnya.
Bu Metya adalah guru paling Killer, tak ada siswa yang berani mengganggunya, kecuali--saat ini.
Bu Metya memungut benda yang baru saja jatuh. Tiba-tiba kelas menjadi sangat sunyi, terlebih Ncep, rasanya untuk bernapas saja sangat susah.
"Pulpen siapa ini?" ujar Bu Metya sambil menunjukkan benda yang baru saja ia pungut.
"Enggak ada yang mau ngaku?!" ucap Bu Metya dengan nada yang sangat dingin.
"Cepat ngaku! Atau saya akan laporkan hal ini kepada kepala sekolah!" Kali ini lebih dingin lagi.
Putri mengangkat tangannya. "Itu milik Ncep, Bu."
Mendengar hal itu, Ncep langsung mati kutu, keringat dingin bercucuran di dahinya.
"Apa benar Cepi, ini punyamu?"
Ncep tak bisa berkata-kata, ia pasrah dan kemudian mengangguk pelan.
"Cepi, bawa kursimu keluar dan angkat diatas kepala sampai pelajaran saya selesai."
Putri terkekeh, ia tersenyum puas sementara Dimas hanya menggeleng tak percaya akan bocah yang duduk di sampingnya saat ini.
"Tunggu Bu, bukan Ncep yang melempar pulpen itu ke pantat ibu."