"Yu, Ayu." Sudah berkali-kali Tania memanggil Putri, berkali-kali pula diabaikan.
"Ayu ih, gue dikacangin mulu dari tadi," Tania kesal, ia menusuk sebuah bakso besar milik Putri dengan garpu dan menyodorkannya pada Putri.
Putri yang sedang sibuk dengan lamunannya di tengah-tengah ramainya kantin itu terkejut. Putri kesal, ia kemudian melampiaskannya pada bakso, menggigitnya dan tak lupa menjitak kepala Tania sahabatnya. Tania meringis.
"Sakit, Ay," Tania mengusap bekas jitakan Putri, berharap hal itu bisa meringankan rasa sakitnya.
"Lagian elo, ngagetin gue pake bakso. Panas tahu!"
Tania terkekeh. "Ehm, itu ... anggep aja itu ciuman dari cogan, Ay. Anget-anget gimana gitu."
"Kamvr*t lo."
Tania dan Putri tertawa kemudian. Entah apa yang mereka tertawakan, hal itu tidak penting bagi orang yang baru saja duduk di samping Putri.
"Lo ngapain di sini!" sulut Putri saat melihat orang yang duduk disampingnya.
"Makan. Kantin itu tempat makan."
"Gue tahu! Maksud gue, lo jangan duduk di sini. Cari tempat lain sana," usir Putri.
"Enggak ada. Penuh," ucap Enno masih fokus pada makanannya.
Jam istirahat pertama kantin memang selalu penuh, banyak siswa yang memang sengaja untuk sarapan di sekolah bareng gebetan atau mereka memang tidak sengaja bangun kesiangan.
Putri menatap Enno kesal, bisa-bisanya Enno duduk di tempat yang Putri sediakan untuk Dimas.
"Udah, Ay. Biarin aja. Dimas juga kayaknya bakalan lama," Tania berusaha menenangkan Putri. Bisa gawat kalau Putri sampai ngamuk.
Sudah Dua Puluh menit sejak bel istirahat, tapi Dimas belum menampakkan batang hidungnya di kantin sejak dipanggil Pak Yudi guru Biologi.
Berbicara tentang Pak Yudi, beliau adalah guru terunik di Spensa. Pak Yudi selalu menggambar gunung kembar dan tower di masing-masing puncaknya. Atau menggambar pohon keribo dan sehelai daun di tangkai paling bawahnya saat menerangkan proses fotosintetis, gambarnya benar-benar mirip anak SD.
Kembali pada Enno yang telah selesai menikmati soto ayam yang penuh rempah-rempah khas Indonesia dengan kelezatan tiada tara, Putri justru menatap Enno dengan tatapan sebalnya. Sementara Tania sudah pamit pergi ke toilet tadi.
"Ehm, nikmat banget makannya. Sampe gak nawarin ke teman," sindir Putri.
Enno menaikkan sebelah alisnya menatap Putri. Dia tampak bingung dan merasa tersindir. Tapi, Enno yakin Ia bukanlah teman Putri.
Enno beranjak meninggalkan kantin tanpa sepatah katapun, membuat Putri berdecih. Putri kadang menduga kalau Enno tidak punya telinga atau mungkin telinga Enno tidak di desain untuk mendengar suara gadis cantik seperti Putri. Apapun itu, itu hanya imajinasi Putri.
"Eh, Ay, lama ya. Kita ke kelas aja yuk ntar keburu masuk lagi, Dimas kayaknya enggak ke kantin deh," ajak Tania yang baru saja kembali dari toilet.
"Iya deh, tapi bentar ya. Gue mau beli roti dulu buat Dimas."
"Cieee, so sweet," Tania mencolek dagu Putri.
"Ayu gituloh," Putri mengibaskan rambutnya sementara Tania hanya terkekeh melihat kepercayaan diri sahabatnya itu.
"Iya sih, tapi ... Tetap aja kalian kejebak Friendzone."
Putri menoyor kepala Tania. "Lo mah, awalnya muji ujung-ujungnya asem."
"Eh, Ayam! Bisa bego beneran nih kepala gue lo jitak-in mulu dari tadi," sungut Tania kesal.
"Yeeh, lo mah engga gue jitak juga udah bego dari lahir," Putri merangkul bahu Tania sambil tertawa.
"Sialan lo," Tania ikut tertawa bersama Putri.
Terkadang kita mudah sekali tertawa untuk hal sepele bersama sahabat. Atau kita ikut tertawa saat ada orang tertawa disekitar kita, padahal kita tidak tahu sama sekali apa yang mereka tertawakan.
