[4] - Misterius

38 2 0
                                    

Hujan deras yang turun secara tiba-tiba membuat Ozan berdecak kesal. Sekarang cowok berambut pirang berjambul itu berada di toko kue langganan ibunya. Sepulang sekolah ia mendapat sms dari ibunya itu untuk mengambil kue pesanan. Sebagai anak satu-satunya, Ozan tidak mau menolak permintaan sang ibu. Bagaimanapun juga, Ozan sangat menyayangi wanita itu.

"Kenapa hujannya harus sekarang sih turunnya," omel Ozan kesal. "Kalo gue nerobos nih hujan mah ga masalah. Tapi justru kuenya yang bermasalah, ntar nggak berbentuk lagi. Pasti diomelin mama. Ah elah."

"Woi!"

Ozan spontan menoleh kebelakang, melihat orang yang sudah menepuk pundaknya dengan keras sampai menimbulkan suara 'dug'.

"Kaget, babi," umpat Ozan kepada Reza, teman sekelasnya dulu waktu kelas sepuluh.

"Ya lagian lu udah gila ya ngomong sendiri."

Ozan menghela nafasnya pelan. "Ngapain lo di sini?"

"Berteduh," jawabnya singkat sambil memandang hujan yang turun begitu semangatnya. Kedua tangannya masuk kedalam saku bomber berwarna army, melapisi seragam kebanggaannya.

Ozan memperhatikan Reza dari samping. Wajah Reza selalu nampak datar dan misterius. Bukannya Ozan homo atau apa karena memperhatikan Reza, tapi dari zamannya sekelas sampai sekarang, Ozan menilainya seperti itu. Mungkin teman-temannya yang lain juga begitu.

"Ti-ati kalo bawa motor, sekarang banyak bacok," celetuk Reza.

Ozan terkekeh geli. "Dih gak jelas lo. Tapi bener juga sih."

"Gua kemaren mau kena bajok njir, tapi untung aja gua pinter ngeles."

"Ye, sombong banget lu, bocah," ucap Ozan sambil menoyor dahi Reza. "Untung nyawa lo masih betah nempel di raga lo. Kalo enggak, mungkin gue lagi menghadiri acara duka di rumah lo."

Reza tertawa terpingkal-pingkal mendengar ocehan Ozan. "Bawel lo, kek cewek nyerocos mulu."

"Ye, serah gue dong."

Reza mendengus pelan, lalu diam sejenak menetralisir keadaan sampai menjadi tenang. "Lo tau gak hal yang paling membahagiakan di dunia ini apa?"

Ozan yang merasa aneh dengan pertanyaan random Reza itu, hanya mengangkat satu alisnya. "Bersama orang-orang yang kita sayangi?" jawabnya yang lebih dominan ke arah pertanyaan.

Reza mengangguk-angguk membenarkan. Lalu matanya bergerak ke arah Ozan yang sedang menatapnya bingung. "Dan lo tau hal apa yang paling menyedihkan sekaligus menyakitkan di dunia ini?"

Ozan berpikir sejenak. Bingung juga harus menjawab apa.

"Memilih," ucap Reza tiba-tiba.

"Memilih?"

"Iya, memilih. Memilih satu diantara orang-orang yang lo sayangi itu." Reza berbicara dengan nada yang tenang tetapi berhasil membuat otak Ozan bekerja lebih keras. "Lo harus bisa ninggalin mereka," lanjutnya

Ozan diam sebentar, mencerna kata-kata Reza. Detik selanjutnya, suara tawa keluar dari mulut Ozan. "Apaan sih lo galau banget."

"Atau lo bisa aja gak milih. Kayaknya itu lebih baik dan adil," sambung Reza.

"Sumpah ya lo ngomong apa gue gak ngerti," ucap Ozan masih dengan tawanya.

Reza menyunggingkan senyum tipis. "Gua balik duluan ya, makin sore," pamitnya.

"Wokeh. Ti-ati banyak bacok," ucap Ozan mengembalikan kata-kata Reza, masih dengan tawa yang belum hilang.

Setelah itu, motor Reza melesat meninggalkan toko kue, menerobos hujan yang sedikit mereda. Ozan masih berdiri di tempat sambil melihat kepergian Reza. Perlahan-lahan tawa itu memudar dan tergantikan dengan kerutan di dahinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OZARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang