If we could only have this life
For one more day
If we could only turn back time- Moment
(One Direction)
"Apa lo bilang? Gue nggak pernah minta buat sembunyiin hal―"
"Gue kira lo beda, Len. Ternyata lo sama aja," Ficil keluar dari persembunyiannya, menatap Vigo dengan begitu kecewa. Tempat yang ia percaya satu-satunya, bahkan membohonginya. Di saat dunia sama sekali tak ingin untuk berpihak padanya, ia percaya bahwa Vigo benar-benar berada pada pihaknya.
Tapi sekarang ia sadar, dunia dan isinya benar-benar membencinya.
"Parah lo," ujarnya dengan suara bergetar, air mata di pelupuk matanya siap mengalir tanpa ia minta.
Vigo yang terkejut akan kehadiran Ficil hanya diam, namun ia berusaha menggapai tangan perempuan itu.
"Cil, ini nggak kayak yang lo kira,"
Ficil melepaskan tangan Vigo, lalu menatapnya. "Gue nggak ngerti kenapa lo sejahat ini, Len. Apa harga persahabatan kita di mata lo? Gue siapa di mata lo? Sampai lo tega segininya sama gue. Gila ya lo."
"Cil―" ucapan Vigo terhenti lantaran Ficil meninggalkan tempat tersebut. Vigo menatap Adrian, yang terlihat sangat santai dan tidak peduli dengan keadaan rumit ini.
"Seenggaknya kalau lo nggak suka sama gue, lo bilang. Lo kira yang jadi korban itu gue? Bukan. Tapi Ficil," Vigo menatap adiknya dengan kecewa, marah, dan frustasi. Ia langsung mengerti bahwa semua ini memang rencana Adrian.
"Tapi gue nggak suka lo deket-deket sama dia! Gue yang punya perasaan duluan sama dia. Kenapa harus lo yang punya kesempatan buat deketin dia daripada gue? Padahal kita sama. Kita nggak lebih dari anak orang yang dicari-cari Ficil karena punya sangkut paut sama kematian nyokap dia. Tapi kenapa lo tetap bisa seneng sama dia sedangkan gue cuma bisa liatin dia dari jauh karena dia benci banget sama gue? Lo kira kalau gue bilang sama lo buat ngejauhin Ficil emang lo bisa buat bener-bener jauhin dia?"
"Lo cuma memperburuk keadaan. Mau sesering apa gue sama dia barengan, tapi yang dia pikirin tiap malam siapa? Lo. Lo kira gue nggak muak denger cerita dia yang tentang lo mulu? Gue juga pengen sesekali dia bahas gue. Tapi apa? Sebenci-bencinya dia sama lo, hatinya cuma buat lo."
Kalimat-kalimat Vigo yang masuk ke dalam indra pendengarannya membuatnya menjadi terdiam. Matanya yang awalnya menatap Vigo tajam, sekarang mengedarkan pandangan ke arah lain.
Ia salah.
Ia terlalu sibuk untuk cemburu. Cemburu yang membuatnya justru melukai hati dua orang yang paling sayang.
"Gue cabut dulu." Vigo akhirnya menghentikan percakapan di antara mereka dan pergi meninggalkan Adrian sendirian.
**
Ficil jalan di tengah malam yang semakin gelap. Bulan sabit dan bintang-bintang yang tak begitu banyak seolah selalu menemaninya yang sedang melangkah tanpa arah.
Ia terus berjalan sementara air mata terus membasahi pipinya. Ia tahu ia tak akan bisa pulang sendirian, tapi ia lebih tak ingin pulang bersama orang yang mengkhianatinya. Piala besar nan megah di tangannya terasa hambar. Rasa lelah di hatinya terasa menyebar ke seluruh tubuhnya.
Setelah 15 menit berjalan, ia akhirnya memutuskan untuk berhenti di dekat sebuah toko kecil yang sudah tutup, dan di samping toko itu ada sebuah tempat sampah yang cukup besar. Ia menatap pialanya, lalu menatap tempat sampah yang ada di hadapannya. Tangannya yang memegang piala perlahan bergerak menuju tempat sampah itu. Ketika jari-jari tangannya merenggang sehingga menyebabkan piala itu terjatuh. Namun, belum sampai bagian paling bawah piala itu menyentuh tempat sampah, seseorang menahan piala itu.