Perpustakaan

14 3 0
                                    

Susah sekali untuk langsung beradaptasi dengan sekolah yang baru saja kau tempati. Berkali kali aku harus pindah sekolah. Dari sekolah paling elite di perkotaan, sampai aku harus masuk sekolah yang kurang meyakinkan. Dan kali ini, ayahku lagi lagi prihatin melihat pembully-an yang sudah menjadi makanan sehari hariku. Ah, entahlah aku rasa itu sudah menjadi hal yang biasa terjadi dalam hidupku.

Partius High School. Yang bertempatan sangat stategis di tengah ibu kota. Kau bisa pergi ke taman kota dengan hanya 5 menit berjalan kaki. Super market di seberang jalan, dan cafe yang bisa kau lihat di mana mana. Ya, juga harga makanan yang cukup untuk pelajar 16 tahun yang belum memiliki pekerjaan.

"Bagaimana menurutmu?"

"Ha?" aku baru menyadari kalau aku daritadi hanya melamun melihat bangunan yang super besar ini.

"Sekolah yang fantastik bukan?"

"Ya, ayah" aku mengangguk sambil membenarkan kacamataku.

Mulai melangkah ke dalam bangunan, kau bisa langsung merasakan gaya kuno klasik yang terukir di langit langit. Ini seperti Hogwarts. Keren!

***

"Murid baru, huh?"

Seseorang menegurku dari belakang.

Aku mengangguk sambil mempercepat langkah kakiku.

"Mau kemana buru buru?" tanyanya.

Ayolah, aku tidak tahu siapa lelaki ini.

"Dasar kutu buku!"
Dia mendorongku sangat keras. Tapi kakiku masih cukup kuat untuk bertahan agar tidak terjatuh.

Dia lalu meninggalkanku bersama teman teman anehnya.
Orang sekarang lebih mengutamakan gaya daripada otak.

'Ruang Perpustakaan'

Akhirnya, setelah berkeliling cukup lama akhirnya aku menemukannya. Hampir saja aku tersesat di sekolah ini. Tak bisa membayangkan seberapa besar sekolah ini. Mungkin bila aku tidak melihat denah sekolah, aku akan terjebak seharian.

Ku buka pintu yang tingginya sekitar 2 menter itu. Ukirannya cukup tua, namun terawat. Siapapun yang menjaganya, pasti penjaga perpustakaan. Ya tentu, tidak mungkin penjaga kantin.

"Halo?" aku menengok kiri kanan. Kosong.

"Ada orang?" suaraku menggema.

Aku melangkah masuk. Bau khas buku langsung menyambutku. Aku suka bau ini.

Ruangan yang sangat luas, rak yang tinggi dipenuhi buku buku, lantai dari kayu pohon elder, dan cahaya redup yang berasal dari jendela terbuka. Ah, aku akan menyukai tempat ini.

Aku lalu mengambil tempat duduk di suatu meja yang panjang untuk menaruh tas dan bukuku. Mungkin muat untuk 10 orang. Tidak ada orang disini. Tidak apa apa mungkin jika aku melihat melihat buku.

Berjalan di setiap lorong yang dihimpit lemari, aku mulai melangkah ke dalam genre buku 'sains'. Berbagai buku jenis sains ku temui disini. Seperti tidak pernah ada yang menyentuh buku buku ini. Namun, kelihatan terjaga. Bersih.

Setelah menemukan buku yang aku cari, aku mulai kembali ke tempat dudukku. Lalu sesuatu mengalihkan pengelihatanku.

Sebuah buku yang hanya dipajang sendiri diantara buku buku yang lain mulai menarik perhatianku. Sampulnya menarik, kau tau seperti buku legenda zaman dulu. Sangat tebal. Warnanya seperti biji cokelat. Dan setiap lembarannya membuatmu sangat penasaran.

"Siapa disana?" seseorang berkata

Aku kaget setengah mati setelah mendengar seseorang berkata di ruangan sebesar ini.

Aku membalikan badan, dan mendapatkan seorang pria tua bertubuh gemuk dengan sebuah kacamata di bagian kanan matanya.

"Oh, murid baru? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya" sapanya ramah sambil menghampiriku.

Aku mengangguk.

"Apa yang membuatmu datang ke tempat seperti ini? Jarang sekali orang mau datang ke perpustakaan" suaranya berat.

"A-aku suka membaca" jawabku masih agak gugup.

Dia menaikan sebelah alisnya.

"Benarkah?" di tersenyum. "Bisa ku lihat kartu identitas pelajarmu?"

Aku memberikannya dari dalam jaketku.

"Adrich Decimus, huh? Nama yang menarik".

Dia lalu mengembalikan kartuku.

"Jadi, nak" dia berkata "apa yang kau harapkan dari sebuah perpustakaan tua ini?"

"Sebenarnya tuan a-"

"Tuan?" dia memotong "namaku Profesor Dingham. Panggil saja Profesor"

"Ba-baiklah" jawabku.

"Lanjutkan nak" dia lalu duduk di salah satu kursi besar yang kelihatan nyaman sambil menulis sesuatu.

"Sebenarnya aku tadi ingin meminjam buku sains. Namun lalu aku melihat buku yang sendirian ini" aku nenunjuk buku itu.

"Dan, dan aku penasaran apakah aku bisa membacanya?"

Untuk sesaat dia menatapku. Aku lalu spontan mengira bahwa dia akan melarangku menyentuhnya.

"Oh ya tentu ambil saja" katanya sambil melanjutkan tulisannya.

Segera aku membawa buku itu ke tempat dudukku.

Profesor masih ada di tempat duduknya. Asik mengerjakan sesuatu. Tak acuh akan kehadiranku yang beberapa menit lalu dia sapa.

Ku lihat sampul buku ini lamat lamat. Tulisannya tidak dapat aku baca. Ini tidak menggunakan bahasa Inggris. Ini, ini bahasa Latin. Sial, harusnya aku mau diajak ayah untuk ikut les Bahasa Latin musim panas lalu.

"Alium se orbem terrarium"

Itulah kalimat yang aku lihat dari sampul buku ini. Demi apapun, aku tidak mengerti artinya.

Et Liber DecimusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang