"mari ikut denganku" ajak wanita yang berada di dalam buku ini.
Tentu saja aku akan menolak ajakan dari orang asing. Namun sepertinya kali ini aku tidak bisa menolak. Matanya membuatku ingin bersama dengannya. Oh Tuhan, sungguh mata abu abu yang menawan. Tak kalah dengan senyuman di bibir tipisnya. Aku ingin memiliki dia.
"huh! Aku tidak mungkin akan pergi bersamamu nona. Maksudku, ayolah. Tidak mungkin aku masuk kedalam buku" itu Kenneth.
Baiklah, terlalu panjang jika aku menulis nama Kenneth dengan 'lelaki itu'
"dan apa yang kau pikirkan nona? aku tidak akan tertipu dengan kecantikanmu itu"
"tidak Tuan Kenneth"
Dia tau namanya?
"aku tidak hanya mengajakmu aku rasa. Kau dan Tuan Decimus tentu saja" wanita itu melihat kearahku.
"ayo, sekarang saatnya!"
Tiba tiba semua rak buku di perpustakaan ini bergetar, hampir terjatuh. Suara lemari yang saling terbentur membuat sebuah kebisingan yang cukup untuk mengundang banyak orang kemari. Lampu lampu tua yang bergantung di langit langit berayun siap untuk jatuh, hingga akhirnya semua menjadi gelap.
***
"siapa saja! tolong aku!" Kenneth yang berada tepat di sampingku histeris. Ya mungkin dia di sampingku, disini gelap.
"Ayolah! aku sesak nafas, disini terlalu gelap!" dia masih berteriak.
Lalu sebuah cahaya kecil terbang di atas kami. Awalnya hanya ada satu, namun kemudian bertambah, lagi dan lagi. Hingga aku bisa melihat sekitar.
Tunggu, ini bukan ruangan perpustakaan.
Dimana ini?
Pohon pohon ek tumbuh tinggi di sekitarku. Semak semak yang mulai menguning, dan daun daun tua berserakan di mana mana. Bau rumput liar menusuk hidungku, dicampur dengan sedikit bau kayu basah.
Hey, aku rasa aku pernah melihat ini.
"Dimana kita?" Kenneth melangkah mendekatiku.
Aku membenarkan kacamataku. "entahlah, menurutmu?"
"um entahlah, namun yang pasti aku rasa aku mengantuk" dia menguap. "Kau berjaga, aku ingin tidur"
aku terdiam.
"ah ya, dan menjauhlah dariku. Aku masih membencimu"
Aku terkekeh pelan.
Tentu saja, kami tidak tahu kami ada dimana tepatnya. Namun, aku tahu bentuk hutan. Dan akurasa kami berada di dalamnya.
Ya, banyak sekali pohon disini, rumput dimana mana, dan hey! Aku melihat beberapa tupai dan sarang burung diatas pohon ek itu.
Akurasa mereka sedang mencari makanan, tapi aku tidak yakin kalau mereka aktif di malam hari.
Melihat pergelangan tangan, pukul 12? Apa yang? Oh tunggu, jam tanganku mati. Aku mengetuk ngetuk kaca jam tanganku, berharap normal kembali, namun sia sia.
Aku lalu beralih ke saku celanaku untuk membawa ponselku. Saat aku menyalakannya, angka di ponselku menunjukan pukul 4:32 dengan tidak ada sinyal sama sekali. Ayolah, aku harus memberitahu ayah kalau aku akan pulang larut hari ini. Dan baiklah, apa yang akan aku lakukan sekarang? Berjaga? Aku rasa tidak ada hewan buas disini. Aku harap begitu.
Aku lalu menyenderkan tubuhku di depan pohon besar yang terdapat Kenneth yang sedang tertidur, tentu saja aku menjaga jarak, entah apa yang akan terjadi jika dia melihatku di dekatnya.
Aku memeluk lutut kakiku, merekatkan jaket, dan membenarkan kacamata, lalu melihat ke atas langit. Tidak ada awan, langitnya biru. Tidak, maksudku ungu. Ah entahlah, warna yang begitu fantastik. Aku lalu mengambil gambarnya dari ponselku. Ya, ini abad 21. Semuanya sudah canggih tentu saja. Namun entahlah, aku rasa tidak dengan hutan ini, tepatnya tempat ini. Aku bahkan susah mencari penerangan lampu rumah, dan hanya mengandalkan cahaya bulan dan kunang kunang tadi yang begitu minim. Beruntungnya hari ini bulannya cerah, dan langit tidak berawan. Cukup untuk menerangi jalan. Akurasa.
Perlahan lahan, rasa kantuk mulai menyerangku. Aku menguap, dan merasakan sakit di pipiku. Bekas pukulan Kenneth akurasa. Kembali merekatkan jaket, hawanya lebih dingin daripada di ibu kota. Lama kelamaan, pandanganku menghitam. Aku tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Et Liber Decimus
FantasyPernah bermimpi kalau suatu hari kau bisa pergi ke dunia lain? Maksudku, keluar dari dunia nyata? Melihat suatu hal diluar dugaanmu, tidak masuk akal memang. Namun aku akan mengajakmu ke duniaku. Selamat datang.