"Apakah kau sudah mendapatkannya?" Tanyaku, sedikit berbisik karena aku tidak ingin suaraku terdengar oleh Dalvin. Walaupun aku yakin pria itu tidak akan mendengarkan ucapanku, mengingat bahwa ia sedang mandi.
"Baiklah, aku akan menunggu.." Balasku, kecewa dan orang yang berada dibalik telepon langsung meminta maaf padaku. Dengan segera aku langsung menghapus nomor yang baru saja ku hubungi dari ponsel Dalvin dan kemudian meletakkannya kembali diatas nakas.
Aku duduk diatas sofa sambil menghelakan nafas panjang, "Sampai kapan aku harus menunggu?" Aku mendesah panjang. Tampak menyerah pada semua hal.
"Menunggu apa?" Aku terlonjak kaget, kemudian menoleh kebelakang dan menadapati Dalvin dengan handuk putih yang tengah melilit disetengah tubuhnya, dia sedang membuka lemari es dan mengambil sebotol air mineral.
"Kau membuatku terkejut."
Dia tertawa kecil, kemudian meneguk air mineralnya hingga habis setengahnya.
"Apa yang sedang kau tunggu?" Dia mengulangi petanyaannya kembali dan aku mulai mendengus tidak suka ketika rasa keingintahuannya mulai tumbuh.
"Bisakah kau pergi ke kamarmu dan pakai pakaianmu dulu?" Tanyaku malas dan memutarkan bola mataku padanya.
Ia menaikkan satu alisnya keatas kemudian menggelengkan kepalanya. Dia terlihat sangat menggelikan dan menyebalkan ketika ekspresi wajahnya yang sedang ia buat-buat."Aku sedang menunggu pizza."
"Untuk apa? Aku sudah menyuruh pelayan untuk mengirimkan makanan dikamar ini."
"Aku tidak tahu." Aku membalasnya dengan sangat cepat tanpa menoleh kearahnya lagi.
"Batalkan pesanan pizzamu." Katanya kemudian berlalu meninggalkanku. Aku menatapnya sinis. Beberapa detik yang lalu ia terlihat seperti orang yang sangat ingin tahu dan sekarang ia berubah lagi menjadi orang yang menyebalkan dan suka memerintah.
Suara bel membuyarkan lamunanku dan dengan segera aku langsung bergegas keluar dari balkon untuk membukakan pintu. Entah siapa yang datang sepagi ini.
"Nona Nelson?" Tanya seorang pelayan pria ketika aku sudah membuka pintu dan bisa ku lihat kalau sepertinya dialah orang yang disuruh untuk mengantarkan makanan dikamar ini.
"Boleh saya masuk? Saya akan menyiapkan menu sarapan dimeja makan." Aku menganggukkan kepalaku, kemudian membukakan pintu dengan cukup lebar dan mempersilakan dia untuk masuk.
"Apa Dalvin memesan ini semua?" Pelayan itu mengangguk memberikanku sebuah senyuman manis khas dirinya. Aku mengikutinya dari belakang dan menontoninya yang sedang meletakkan berbagai piring diatas meja dengan berbagai menu sarapan yang cukup banyak.
"Iya." Jawab pelayan itu kemudian menegakkan tubuhnya dan menoleh menatap Dalvin yang baru saja keluar dari kamarnya. Pria itu menundukkan kepalanya kemudian mendongak kembali menatap Dalvin.
"Pesanan Anda, tuan Nelson." Begitu semua menu sarapan sudah tersaji diatas meja makan, Dalvin langsung menyuruh pelayan pria itu untuk segera keluar dari dalam suite ini dan memberikan dua lembar uang seratus dollar sebagai tanda terimakasihnya.
"Mengapa kau memesan makanan sebanyak ini?" Tanyaku, heran.
"Untukmu. Biasakan untuk hidup sehat, kau kekurangan gizi. Maka dari itu aku memesankan banyak makanan agar kau tidak sakit." Jawab Dalvin santai. Aku menatapnya, tajam. Aku benci ketika dia sedang meremehkanku.
"Maaf? Aku cukup tersinggung dengan ucapanmu, tuan yang sok tahu." Sergapku cepat.
Ia mengabaikan ucapanku dan lebih memilih untuk melahap roti isinya dalam satu gigitan penuh, "Aku harus pergi untuk menemui klienku. Jika kau masih lapar, telfon saja pelayan untuk mengirimkan makanan lagi. Jangan keluar dari sini, karena aku tidak ingin kau hilang dalam satu langkah kedepan." Ia mengangkat bokongnya segera dari atas kursi kemudian berjalan memutari meja makan untuk melangkah kearahku, sedetik kemudian bisa ku rasakan suatu yang lembut dan cukup basah menyentuh keningku. Dia mengecup keningku tanpa meminta izin dariku terlebih dahulu dan itu cukup membuat pipiku merona dalam sekejap saja.
YOU ARE READING
I'm Yours Mr.Nelson
Romance#8 In Romance Dalvin Nelson. Pria tampan, angkuh, dan sombong ini memiliki ribuan kapal pesiar terbaik di seluruh dunia. Hidupnya dipenuhi dengan tumpukan uang, namun kebahagiaannya belum bisa dikatakan sempurna karena belum ada tambatan hati yang m...