Tiga (B)

120 20 2
                                    

Paginya, Jisung sudah siap dengan kemeja biru cerah yang tak dikancing, membalut tshirt putih yang ia pakai.

Ia melangkah ke dapur dengan sedikit mengendap. Menelusuri bau sedap masakan istri tercintanya itu.

Satu pelukan ia berikan di pinggang ramping itu dari belakang. Dagunya ia sandarkan di bahu kanan gadis itu. Mengintip aktivitas yang setiap pagi istrinya lakukan itu.

Tubuh Jiae menegang begitu merasakan hembusan nafas di sekitar lehernya.

"Masak apa noona?"

Gadis itu terdiam beberapa saat dan mematikan kompor. "Kau bisa melihatnya sendiri, Jisung-ah."

"Aku ada jadwal hari ini. Kau di rumah saja, eoh? Jangan kemana-mana... kecuali dengan chingu-mu." Jisung mengeratkan pelukannya, "aku tak mau noonaku ini kenapa-kenapa.."

Jiae menunduk menatap lilitan tangan itu di pinggangnya. "Jisung-ah jangan seperti ini."

Perlahan Jisung membalikkan tubuh istrinya itu hingga kini mereka saling berhadapan.

"Wae?" ia mengangkat dagu itu dengan telunjuknya, "jantungmu berdebar, eh?"

Beberapa saat mereka bertatapan dalam diam.

"Noona. ."

Jiae diam, menanti kelanjutan ucapan Jisung.

"Kau milikku, kan? Kau. . takkan meninggalkanku, kan?" ucapnya beriringan dengan jemarinya yang membelai lembut setiap inci wajah yang selalu membuatnya gila itu.

"Ini semua milikku.."

Ia membelai mulai dari ujung rambut sebahu itu, mengusap pelipisnya, terus turun hingga bagian wajahnya yang membuat ia kecanduan.

Jiae  terus diam merasa jantungnya berhenti bekerja saat tatapan itu terfokus pada kedua belah bibirnya yang terkatup rapat.

Astaga, oksigen di dapur ini rasanya makin menipis.

Setelah beberapa saat terdiam canggung, Jisung memutus tatapnya tanpa melakukan apapun.

Membuat gadis itu menghela nafas lega sekaligus kecewa.

"Lanjutkan masakmu, noona. Aku lapar."

Ia menatap setiap gerakan suaminya yang berlalu dan duduk di atas meja makan sembari memainkan ponselnya.

Ia berdecak ringan. "Duduk di kursi,  Jisung-ah."

Beberapa saat sibuk dengan ponsel, Jisung tiba-tiba terperanjat. Ekspresinya tak terbaca. Ia buru-buru berpamitan, "Noona,  aku berangkat dulu, eoh? Ada urusan mendadak."

Ketika sampai di pintu dapur, ia berbalik lagi. Jiae mengernyit. "Apa? Ada yang ketinggalan?"

Ia mendekat pada Jiae dan mengecup sudut bibirnya sekilas. "Ini."

***

"Iya noona, aku takkan lama." ucap seorang pria sebelum memutus sambungan teleponnya. Ia mengenakan kemeja berwarna biru cerah bermotif kotak-kotak dipadu dengan celana jins hitam pekat. Ia bergegas menyalakan motornya sebelum sang noona meneleponnya lagi.

Ting

Ting

Ting

Ia menekan bel begitu sampai di depan rumah seseorang yang menjadi tujuannya. Tak sabar, ia memencet berkali kali berharap sang pemilik rumah segera menyambut.

Suara derapan langkah terburu-buru terdengar mendekat. Tak lama, pintu itu terbuka, menampilkan sesosok gadis dengan apron yang melekat di tubuh kecilnya.

"Yaampun, Sehun. Kupikir siapa. Masuklah. "

Gadis itu membuka pintu lebih lebar mempersilahkan masuk.

Perasaan kesal Sehun seketika buyar membuncah menjadi kebahagiaan begitu melihat kekasihnya menyambut dengan senyuman.  Ia lekas masuk dan duduk di sofa rumah itu tanpa melepas pandang dari sosok sang gadis.

"Aah, sebentar. Aku akan menyelesaikan ini dulu. Kau tak apa kan menunggu sebentar?"

Ia berucap sebelum kemudian berlalu ke dapur.

"Haaaaa. ."

Sehun menyandarkan tubuhnya ke sofa. Menjelajah pandang pada ruangan minimalis itu. Ia tersenyum kecil mendapati foto sesosok gadis kecil di lemari sudut ruangan yang menyimpan perabotan hias. Ia juga mendapati sebuah piala berwarna emas di atas lemari.

Seketika memorinya berputar seolah menyetel kenangan-kenangan indah masa sekolah dulu.

Hanya satu yang luput dari pandangannya. Sebuah foto pernikahan gadis itu terletak di dinding belakang tempat duduk.

***

To be continued..

Next 👉 Chapter 4 😆

Regards,

Erliinjung

Aku suka Noona! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang