Bab 4

21 6 3
                                    

"Woi Nes, nggak pegal tuh jempol main game mulu" Tanya Amar yang sudah datang dengan tiga piring siomay di nampan yang ia bawa.

Jovan menggeleng sesekali melirik ke Amar yang masih memperhatikannya. "Eh, kok dari dulu panggilan lu ke Jovan gak pernah berubah sih?. Berasa jones tau nggak?" Rean mengambil siomay yang dipesan oleh Amar.

"Nggak salah kan. Orang namanya aja Jovanes kok.  Lo juga gak keberatan kan bro?" Lagi-lagiJovan hanya melirik sekilas ke Amar dan mengangguk. Ia mematikan ponselnya yang tadi ia gunakan bermain game dan pindah ke siomay.

"Lu ngomong kek. Dari tadi cuma ngangguk, geleng, natap aja tajem kayak gitu. Setajam silet" cerocos Rean. Jovan tak bergeming, hanya asik menyuapkan sesendok siomay ke mulutnya.

"Sumpah deh lu. Astagfirullah sabar Rean. Anak orang jangan lu apa-apain. Untung aja lu udah sahabat gue dari kecil" Ya, memang sebelumnya mereka pernah bersahabat waktu mereka SMP.

Mereka berpisah karena Jovan harus pindah ke Perancis, ikut ayahnya dan sekolah di sana. Namun itu semua adalah kebohongan. Sampai sekarang pun Jovan masih merahasiakan hal itu.

"Iya Nes. Mulut lo gak pegal gitu. Mingkem terus. Atau lo punya penyakit sariawan tahunan gitu" yang ditanya cuma menatapnya datar.

"Tahunan? Lu kira bayar ngontrak, tahunan?" Tanya Rean.

"Ya kali aja"

"Udah dari lahir kali" dan akhirnya Jovan membuka suaranya yang dengan sekejap langsung menjadi pusat perhatian. Begitu berat efek yang diberikan Jovan. Bayangkan, kalo Jovan menjadi pembina upacara yang mengucapkan beratus kata, bisa bisa upacara yang panas mulai jadi kegemaran bagi banyak siswi.

"Nah tuh. Dia ngomong. Gitu dong, kalo lo ngomong kan enak" Amar menggelengkan kepalanya terus menerus tak percaya bahwa segitu besar efek suara Jovan.

~~~~~

Di lain sisi. Suasana canggung menyelimuti mereka. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut masing masing. Sama sama menatap makanan yang ada di depan mereka.

"Eh, Fi. Sering-sering dong kumpul sama kita lgi kaya gini. Udah lama kan kita gak kumpul kaya gini" topik baru keluar dari mulut Kayra, meskipun dengan nada yang masih tak bersahabat.

"Emm.. iya gue usahain biar kita bisa kaya gini lagi" jawab Fifi yang sekarang duduk di sebelah Kayra. 

"Eh, Fi. Lu emang kemarin ada urusan apa sampe gak bisa hadir waktu sahabat kita sedih" sindir Zoya ke Fifi tanpa menatap wajah Fifi.

Fifi diam sesaat. Dia masih berusaha mencari alasan yang tepat. "Gue kemarin ada pertemuan gitu sama saudara gue yang baru balik dari luar negeri. Maaf ya, karena gue gak dateng waktu itu." kata Fifi, yang sebenarnya bohong.

"Oh, kirain lo gak mau ikut susah juga" kata Kayra yang sangat ketus.

"Udah dong. Kalian jangan ngejudge Fifi gitu. Bagaimanapun juga kita harus menghargai sahabat kita" Sasya mencoba melerai suasana panas ini.

"Terus, berarti Fifi juga gak ngehargai lo kan Sya. Menurut gue, ketemu sama saudara juga bisa nanti kalo udah habis takziyah. Nah lo kan cuma sehari doang masa gak sempet sih. Itu juga cuma beberapa jam doang loh" emosi Kayra sudah memuncak.

"Gue gak mau egois kalo kayak gini. Kan yang penting kalian juga udah dateng" kata Sasya lembut, tak mau jika emosinya ikut memuncak. Sasya menatap Zoya dan Kayra bergantian.

"Iya Kay, gak papa kok. Kali ini kita maafin Fifi. Dia juga kan butuh waktu buat kangenan sama saudaranya" Zoya membenarkan kata Sasya. Nih anak cuma maafin gue doang kok susah banget sih. Capek gue bersandar terus kaya gini. Kata Fifi dalam hatinya.

"Huh, OK. Kalo itu mau kalian gak papa. Kita maafin Fifi aja. Tapi, sorry. Gue masih belum mau bicara sama dia. Maaf, mungkin lo kira siapa gue? Bukan anak dari ibunya Sasya tapi sok marah kayak gini. Gue cuma mengerti perasaan sahabat gue, sebagai anak dari orang tuanya yang habis meninggal. Rasanya tuh gimana. Karena gue udah pernah rasain itu sebelum kalian." Mata Kayra sudah berkaca kaca ketika menatap Fifi. Memang orang tua Kayrasudah meninggal ketika ia SD.

Akhirnya keadaan hening kembali. Mereka mulai menyantap makanan mereka, sampai tak terasa bel masuk berbunyi. Tanpa pamit, Fifi pergi meninggalkan kantin. Kayra hanya tersenyum miring melihat Fifi yang mungkin sudah tak tahan dengan perkataan Kayra tadi. Kayra juga heran, kenapa Sasya masih mau menerima Fifi sebagai sahabatnya.

Padahal, Fifi sudah merebut gebetan Sasya yang jelas jelas sudah diketahui Fifi. Dia juga sudah menuduh Sasya yang tidak tidak saat Sasya ditanya oleh guru, waktu ada narkoba di dalam tasnya. Tapi, semuanya terbukti saat guru mengecek cctv dan ada seorang perempuan tak memakai seragam sekolah dan wajahnya ditutup masker. Sampai saat ini belum diketahui siapa gadis itu.      

~~~~~

Bel sekolah yang menandakan waktu belajar selesai, akhirnya berbunyi dengan nyaring nya. Sasya masih berdiri di depan gerbang sekolah menunggu angkot datang. Seperti biasa, Sasya pulang berangkat naik angkot. Selain tidak mau merepotkan ayahnya, Sasya juga senang karena ia bisa bertemu temannya juga. Ia juga tak bersama sahabatnya, karena rumah mereka berjauhan dan tak ada yang searah, jadi kalaupun naik angkot, pasti arahnya berbeda.

Saat angkot datang, Sasya melambaikan tangannya dan angkot segera berhenti didepan nya. Ia duduk juga diikuti cowok tinggi, tampan, berambut acak acakan dan... dingin. Tunggu, sepertinya Sasya mengenal ciri ciri itu. Dan pastinya dingin. Tak salah lagi.

"What, lo kok naik angkot juga sih?" Sasya mulai bingung. Mana mungkin cowok dingin kaya dia mau naik angkot yang sempit dan panas kaya gini. Yang ia tahu kalau cowok setampan dia tak pantas naik angkot. Memang Sasya mengakui ketampanan Jovan. Sasya tak tahu, sejak kapan Jovan menunggu angkot bersamanya tadi?

"Woi jawab kek" kata Sasya setengah berbisik sambil menyenggol lengan Jovan dan mengakibatkan Jovan tersadar setelah puas melihat lihat ke arah samping kanannya melalui jendela angkot.

Jovan menoleh ke arah Sasya. Ia menaikkan satu alisnya menanyakan apa yang tadi Sasya katakan. "Kok lo bisa naik angkot juga sih?" Sasya mengulang perkataannya tadi.

Jovan mengangguk sekilas dan melanjutkan aktivitasnya tadi. Suara knalpot kendaraan berderum seperti tak mau kalah satu sama lain. Sasya menghembuskan nafasnya sebal. Karena jawaban Jovan yang selalu saja begitu. "Emang ya kalo cowok dingin beda tipis sama orang bisu" mendengar gumaman Sasya yang menyindir tentangnya, Jovan menoleh ke arah Sasya. "Gue gak bisu" Sasya mengerucutkan bibirnya dan mendengus kesal.

Lagi lagi, dalam hati Jovan tersenyum melihat tingkah Sasya yang sedang kesal karenanya untuk kedua kalinya. Ia selalu dibuat senang oleh Sasya. Entah kenapa rasanya Jovan ingin selalu tersenyum walau tak ditunjukkan oleh lengkung bibirnya yang tipis.

Setelah angkot berhenti di tengah tengah rumah Sasya dan Jovan, Sasya dan Jovan turun dari angkot berurutan. Saat Sasya ingin berjalan ke arah rumahnya, tangannya terasa seperti ada yang mencekal. Ia menolak ke belakang. Tangan Jovan mencekal tangan kirinya.

"Ingat, gue gak bisu. Kalo mau gue gak bisu sama lo, harus keluar kamar lo setelah ini" setelah mengatakan itu, Jovan berlalu meninggalkan Sasya yang masih tak berkutik ditempatnya.

~~~~~

Sekarang aku tahu, kamu gak bisu
Tapi, hati kamu juga gak beku
Karena kamu hanya tak banyak bicara

Kamu selalu membuat aku penasaran
Seperti waktu yang akan datang
Yang tak pernah kita ketahui apa yang akan terjadi nanti
Tapi kita bisa merencanakan apa yang akan kita lakukan di masa yang akan datang
Kamu itu sama seperti waktu
Hanya bisa ditunggu
Namun ketika telah datang
Begitu cepatnya pergi dan berlalu
Dan itu kamu

☆☆☆

Semoga kalian suka yah...
Maaf kalau typo bertebaran
Mohon comment jika ada typo
Mohon juga beri vote kalo suka, kalo gak suka ya harus vote juga.
Hehehe..

Retno_Winarsih

Don't Follow MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang