Bab 3

22 4 1
                                    

"Sya, lo kenapa? Kok muka lo kayak gini." Tanya Kayra yang khawatir dengan berubahnya ekspresi Sasya yang berbeda dengan sebelumnya.

"Aduuuh kalian tau gak? Gue malu banget tadi. Didalam ada Jovan. Kalian kenapa gak bilang dulu sih, kan jadi gue yang malu" Sasya menutup mukanya.

"Hehe maaf yah. Lu sih tadi baru aja gue mau ngomong malah udah keb-" Zoya tak meneruskan perkataannya malah memperhatikan Jovan yang baru keluar dari toilet dengan muka datar.

Mereka tak ada yang berbicara sama sekali. Mungkin takut atau ada hal lainnya yang membuat mereka mendadak bisu.

~~~~~

Proses pemakaman berjalan lancar. Semua orang satu persatu meninggalkan rumah Sasya termasuk saudaranya. Sasya masih termenung di balkon kamarnya. Ia tak tahu kenapa mamanya akan begitu cepat meninggalkan dirinya seperti sekarang.

Sasya mendengar suara bagian bawah pintu kamar sebelahnya yang bergesekan dengan lantai yang menandakan pintu itu terbuka. Karena dilanda kepo,  akhirnya Sasya menoleh ke sumber suara. Didapatinya Jovan yang hanya dibalut celana pendek selutut dan handuk yang masih melilit di lehernya. Sepertinya Jovan baru selesai mandi. Begitu pikir Sasya.

Ketika masih asik dengan memandangi Jovan yang menatap langit, tiba tiba Jovan menoleh dan mata mereka bertemu. Tak ada kata apapun yang keluar dari mulut mereka. Sasya mencoba tersenyum, tapi senyumnya tak dibalas oleh Jovan. Ih sombong banget sih tuh anak. Orang senyum tuh harusnya balik senyum gitu. Sasya merutuki Jovan dalam hati.

Setelah melihat Jovan menutup pintu balkon nya kembali, Sasya memutuskan untuk kembali ke kamar. Ia lebih memilih belajar untuk menghilangkan semua bebannya. Ini adalah salah satu cara ampuh untuk Sasya agar menghilangkan semua beban dikepalanya. Memang aneh sih, kan yang ada kepala malah jadi tambah puyeng. Tapi , memang begitu sih cara Sasya.

~~~~~

Semua siswi memandang takjub ke arah seseorang bertubuh tinggi, putih, rambut acakan, tak berdasi, baju yang keluar dari celana, padahal statusnya masih murid baru di sma ini. Tapi, penampilannya tak mengurangi kadar ketampanan nya. Semua siswi yang berpapasan dengannya melontarkan senyum ke cowok itu. Tapi, ia tak menanggapinya, ia sangat cuek untuk sekelilingnya. Walaupun tak direspon, banyak siswi yang terus saja menyapanya bahkan menggoda nya.

Jovan melangkah menuju ruang kepala sekolah dan setelah urusannya selesai, ia keluar dari ruangan sepi itu menuju kelas barunya. Sebenarnya, bel sudah berbunyi 5 menit yang lalu tapi Jovan baru datang ke kelasnya. Jovan mengetuk pintu kelas itu. Terdengar suara pintu yang dibuka dari dalam. Guru berperawakan tinggi, kumis tebal yang melekat di atas bibirnya menjadi ciri khas guru itu.

"Oh, kamu yah anak baru yang ada disini?" Jovan hanya mengangguk.
"Silakan masuk" Jovan mengikuti perintah pak Nurman salah satu guru seni budaya yang menjadi guru favorit disini karena tingkahnya yang konyol dan cara penyampaian belajarnya yang tak membosankan.

"Perkenalkan anak2, dia murid baru yang akan tinggal di kelas ini" pak Nurman tersenyum dan memberikan isyarat kepada Jovan untuk memperkenalkan dirinya.

"Hai, nama saya Jovanes Syarif Sya'baniz. Panggil aja Jovan." Katanya datar.

"Sekarang kamu duduk disitu" pak Nurman menunjuk ke arah bangku yang kosong. Jovan tak menjawab perkataan pak Nurman, dia hanya langsung duduk di bangku yang pak Nurman tunjuk, yaitu di pojok kiri kelas yang konon katanya angker.

Berhubung Jovan anak baru, jadi dia tak tahu apa apa tentang cerita-cerita sekolah ini. Kalaupun ada ia hanya cuek tak menghiraukannya. Menurutnya bangku yang sekarang ia duduk biasa saja. Jovan tak mendapatkan reaksi apa-apa yang dikira menghawatirkan. Tak ada tanda-tanda Jovan akan menjerit, melotot atau apapun yang menyerupai orang kesurupan.

Don't Follow MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang