1 - Selalu tentang dia

225 47 59
                                    

Playing on : Once mekel - Simphony yang indah

Rasa boleh hilang.
Apa kenangan juga boleh terlupakan?
Karena nyatanya, melupakan tak semudah menemukan.

☆☆☆

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Mengikis siang menjadi petang, melewati malam sampai kembali pagi. Hari ini SMA Cahaya Pelita tengah mengadakan pesta perpisahan kelas dua belas yang digelar besar-besaran. Acara tahunan yang menjadi rutinitas sekolah selalu diselenggarakan sangat glamor. Banyak penampilan dari berbagai bidang. Khusus dipertontonkan untuk kakak kelas yang telah lulus.

Termasuk Shafa, ia rela menghabiskan waktu dengan berlatih bersama anggota KPS demi menampilkan lagu terbaik di waktu sekarang. Untuk sedikit ikut merasakan keterharuan dalam suasana kelulusan.


Perlahan alunan musik mulai terdengar mengiringi nyanyian seluruh anggota sesuai arahan dirigen.

Alun sebuah simfoni
Kata hati disadari
Merasuk sukma kalbuku
Dalam hati ada satu
Manis lembut bisikanmu
Merdu lirih suaramu
Bagai pelita hidupku... 🎵

Berkilauan bintang malam
Semilir angin pun sejuk
Seakan hidup mendatang
Dapat kutempuh denganmuu...🎵

Sampai hiruk-pikuk orang mengakhiri nyanyian. Dari yang mengabadikan foto, bersalaman dan banyak hal-hal lain yang secara tidak langsung mengungkapkan kebahagian. Seakan di sini adalah magnet segala euforia dari lautan manusia. Saling berbagi tawa tanpa pandang mereka siapa.

Shafa pula bahagia. Tak terasa ujung bibirnya tertarik ke atas, sebelum kemudian bisikan orang di sebelah menuntun arah pandangnya ke depan. Ke arah dua orang laki-laki yang tampak berbincang ramah dan salah satu dari mereka mengenakan jas cokelat.

Lalu apa masalahnya?

"Dia mirip tukang nyanyi yang always pake kacamata itu loh, you know?"

Tidak.

"Ih kaum cogan pasti nambah banyak kalo semua cowok pake jas sama kacamata." celotehnya lagi.

"Aduh Anna. Dia itu bukan Afgan ya." Shafa melipat tangan di dada. Jengah mendengar celotehan Anna yang setiap kali menemukan cowok bening langsung disama-samakan dengan orang lain.

"Halah, mata lo kan dibutakan sama si brengsek Mega. Pantes kalo gak tahu perspektif ganteng sesungguhnya kayak gimana."

Sial.

Detak jantung Shafa berpacu lebih cepat. Kali ini perkataan Anna menusuk dalam. Mengupas segala rasa yang terkubur mati menjadi bangkit lagi. Membuat hatinya kembali tergugah akan sakit yang pernah ia rasa.

Lantas ingatan Shafa berputar pada kejadian satu tahun silam, di mana waktu memaksa hubungannya dengan Mega jadi buntu.

Mega adalah lelaki kedua setelah Ayah yang selalu membuatnya tertawa bahagia dan terlupa bahwa di dunia bukan hanya mereka saja. Malah, dua hari sebelum semuanya berakhir Mega sempat mengatakan bahwa hubungan yang baik adalah hubungan yang memiliki keterbukaan di antara pasangan.

But now, we can see the real man. Semua laki-laki sama saja. Shafa benci manusia seperti itu, selalu mengandalkan ego tanpa memperdulikan perasaan orang lain.

"Makanya, kalo cinta sama orang jangan cinta-cinta amat. Kalau pun nanti disakiti gak bakal kayak gini." klaim Anna tanpa mengalihkan pandangannya.

Ya, memang benar. Anna selalu benar.

"Gue ke belakang dulu."

Bukan menghindar atau apa, karena sejak tadi Shafa benar-benar ingin ke toilet. Lagipula acara sudah menempati tahap non formal, mempermudah dirinya keluar dari barisan tanpa harus menunggu reaksi orang di sebelah. Anna terlalu sibuk memperhatikan lelaki berjas kopi di depan sana.

"Shafa.."

"Shafa?"

Ya ampun, jangan bilang kalau Anna mengikuti.

Segera Shafa mempertajam penglihatan ke lantai dan sedikit mengangkat rok span yang menghalangi langkahnya. Ia berjalan tergesa ke arah samping gedung tempat acara digelar saat panggilan Anna semakin mendekat. Tanpa disadari sesuatu keras di depan memaksa tubuhnya terdorong ke belakang dan jatuh tak terelakan.

Shit, that's a really shameful.

Untung di samping gedung tampak sepi dan Shafa bisa leluasa bangun menepuk bagian rok belakangnya dari debu jejak sepatu yang tercetak jelas di sana.

"Hei, kalo jalan itu.."

Shafa langsung diam saat matanya bertubrukan dengan sorot mata orang di hadapan. Lelaki jangkung berkemeja biru dengan balutan jas hitam yang sengaja dibuka bagian kancingnya menatap Shafa tanpa ekspresi. Mata sipit juga sorot cokelat beningnya berkilau terkena cahaya mentari. Sangat tajam seolah menelanjangi hingga membuat Shafa beku dan kelu.

Entah bagaimana, tapi mata milik orang itu begitu sama dengan seseorang yang selalu berhasil mengusik hidup Shafa dalam kekecewaan, kerinduan, penyesalan dan segala rasa bercampur tak karuan.

Ah, lagi-lagi tentang Mega. Kenapa perihal di dunia selalu bersangkutan dengan dia?

Tidak. Tidak. Shafa percaya bahwa sebelumnya ia tak pernah mengenali cowok itu di lingkungan sekolah. Jadi, kemungkinan besar ini hanya halusinasi tak berarti.

Tapi kenapa begitu sama?

Bahkan saat orang itu berlalu tanpa prakata, Shafa masih dapat mengenali posturnya walau dari belakang. Tubuh ramping tegapnya berjalan santai seraya menenteng gitar pada salah satu bahu.

"Shafa Mahdiya.."

Seketika pundak Shafa menegang, panggilan itu membuat napasnya berembus pasrah. "Iya apa An.. eh, kak Anzas?"

"You okay? Dari tadi aku panggil kamu malah lari."

Oh yang memanggilnya sejak tadi itu Anzas, bukan Anna toh. Shafa merasa kikuk sendiri, menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Maaf kak, aku.."

"No biggie. By the way selamat ya." Anzas mengulurkan tangan ke hadapan.

Siapa pun anak Cahaya Pelita pasti mengenali siapa Anzas Saputra, seorang senior osis yang bersikap ramah sekaligus berwibawa. Tidak ada yang bisa menolak pesonanya, cause he's a gentleman for everyone especially for the girls.

Begitu pula bagi Shafa. Sifat Anzas yang ramah dan mudah bergaul sama semua orang menambah nilai sempurna di matanya. Banyak hal lain pula yang Shafa sukai dari seorang Anzas, seperti kepandaiannya dalam public speaking. Dia terlalu pintar berbicara untuk anak seusianya.

"Sekarang kamu udah sah jadi kelas sebelas."

"Eh," meski sempat ragu akhirnya Shafa membalas uluran tangan itu. "Selamat juga buat kakak yang sah menjadi panutan kelas."

"Ah, bisa saja. Yang ada tahun ini tuh bagian kerepotan melanda. Menata masa depan biar cerah."

Akhirnya, Shafa tertawa seraya menarik tangannya kembali. Anzas pun tidak bisa untuk tidak ikut tertawa merespon perkataannya. Kedekatan mereka sangat baik setelah lama kenal di MOS dulu. Shafa yang waktu itu menjabat sebagai sekretaris kelas, harus bolak-balik mengantar data murid untuk kemudian diserahkan pada Anzas, selaku pengurus osis yang menjadi guide kelas IPA 1.

☆☆☆

Terima kasih sudah menghabiskan waktu untuk membaca cerita SAME :)


Kira-kira siapa ya pemilik wajah serupa?

Love,

A

SAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang