Semua hal memiliki titik kadaluarsa.
Mengapa perasaan tidak?☆☆☆
Dia adalah dingin yang tak tersentuh.
Diam membatu, tapi mampu membuatmu terbunuh.
Beku pada diorama.
Atau mati oleh ikatan netra.
Atau mungkin menjebak dalam pendaran pesona.
Yang pasti, jika saja dirimu jatuh, maka semakin dirimu tak bisa sembuh.___
Terang sinar mentari berhasil mengusir kelabu di angkasa biru. Teriknya menyengat ke setiap sekat, seolah memberitahu semesta bahwa dirinyalah hal paling gempita di antara semua benda angkasa.
Sama halnya dengan dia, si pemilik mata serupa yang beberapa hari ini sering merasuki isi pikiran Shafa.
"I think you have been adoring him for the first sight, right?"
"I don't think that's right." Shafa menimbang pernyataan yang akan ia katakan, sebelum kemudian bersuara. "I'm just mmm.. never see him in our school."
"Are you seriously dude? Padahal dia cukup terkenal loh di telinga anak capel."
Setuju. Sebenarnya Shafa sudah cukup tahu cowok yang dimaksud Anna sejak kejadian di gedung acara perpisahan. Saat Tuhan mempertemukannya dalam ketidaksengajaan dan sekarang Tuhan kembali mempertemukannya lagi dan lagi secara berulang kali di setiap sudut sekolah, seakan dia adalah pusat dari berbagai rute yang ada.
Mungkin memang benar, karena sebagian besar orang berpendapat bahwa cowok seperti dia adalah pusatnya kaum hawa.
"Tapi bukan berarti semua mata akan memuja dia. Kamu tentu tahu bahwa setiap orang memiliki sudut pandang berbeda untuk menilai harga."
Namun hati juga tidak bisa dibohongi. Bagaimana bisa Shafa mengelak semua kebetulan yang terus-menerus menghantui dan menjebaknya dalam rasa yang kian menerpa, sementara cowok pemilik mata serupa itu adalah ketidakpastian yang menyiksa.
"Ciee.." Anna menyoraki. "Menurut observasi, kalau orang sudah berkata bijak berarti dia sedang jatuh cinta."
"Sok tahu banget! Gue kan cuma penasaran aja."
"Penasaran yang berujung perasaan."
Seketika kalimat Anna merengut kesadaran Shafa sepenuhnya. Terkunci dengan segala bayangan yang perlahan menggelayuti isi pikiran. Gadis itu menompangkan dagu pada kedua tangannya sambil memikirkan hal-hal yang terlalu rumit hanya karena rasa semata. Banyak spekulasi yang perlahan bermunculan sampai pada titik akhir segalanya sudah terlanjur basah. Mungkin kalau segala sesuatu mudah disangkal Shafa tak akan penasaran. Jikapun terjadi seharusnya ia tak perlu melibatkan apa-apa, apalagi rasa.
Dasar bodoh.. "Sasa!"
Suara kecil Irma menghentikan umpatannya. Perempuan berawak mungil datang menuju menghampiri seraya menyodorkan sebuah kertas putih bercetakan tinta hitam berderet, sebuah formulir resmi yang kurang diminati.
"Ini titipan dari kak Anzas, dia bilang jawaban Sasa akan sangat ditunggu." jelasnya.
"Dikira gue micin!"
"Sebelas dua belaslah." sahut Anna tanpa dosa. "Kayaknya nickname itu memang cocok buat bocah macam lo."
Menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAME
Teen Fiction... Sangat ingin aku menjauh ketika aku dan dia dipertemukan dalam ketidaksengajaan. Terasa ngilu, namun mataku terus saja mengarah padanya. Pada dia, si pemilik wajah serupa dengan masa laluku. "Aku hanya sekedar pengagummu, dan itu .. tak akan ber...