Bagian 2 - Bunga, Kekasih, dan Salju di Akhir Musim Semi

17 1 4
                                    

Dingin. Angin yang dingin masih berhembus kencang menerpa dinding bangunan. Pepohonan nyaris tidak mampu menahan kuatnya hembusan yang menerpa. Daun-daun berguguran dan jatuh dari pohonnya, padahal musim gugur belumlah datang. Ya, musim gugur belumlah datang.

Bersama angin yang kencang salju turun menghujani bumi. Bumi yang seharusnya hijau oleh rerumputan dan dedaunan kini tertutup oleh butiran-butiran salju yang putih. Ya, bumi yang sekarang seharusnya hijau oleh rerumputan, bukan putih oleh tumpukan salju.

Bukan sekadar hujan, melainkan lebih tepat disebut badai. Salju yang putih namun tak elok kini mengurung seluruh insan di dalam rumah. Tidak saja satu kota, tidak hanya satu negara, badai salju kini terjadi di mana saja. Tidak di daerah kutub, tidak di daerah khatulistiwa, semuanya sama. Semua tempat kini tertutupi oleh salju yang menutupi oleh putihnya salju, termasuk di negeri ini, Wistaltemia.

"Tidak kusangka salju masih turun di penghujung musim semi," seseorang berbicara dengan suara yang begitu lembut. "Padahal tiga hari yang lalu salju sudah mulai meleleh."

Dia duduk bersandar. Surai kelamnya dia biarkan terurai begitu saja. Sepasang manik kelamnya menatap ke arah jendela kaca, memperhatikan sebuah fenomena yang tidak biasa adanya. Dengan jelas tampak kekhawatiran pada raut mukanya, menodai paras yang biasanya tampak ayu menawan hati.

Deru angin dapat didengarnya dengan jelas. Tangisan semesta terasa menusuk kalbu. Entah apa yang sedang terjadi saat ini, dia sama sekali tidak mengerti. Sebuah fenomena terjadi pada masa tatkala teknologi telah kembali mendampingi manusia bersama sihir yang telah menghadirkannya. Fenomena yang tidak dapat dipahami bahkan dengan sihir yang ada, fenomena semacam itu kini tengah melanda.

"Apakah sudah ada informasi dari markas unit kita di West Boulevard, Clara?" dia yang bersurai kelam bertanya. Dia berpaling, menatap seorang wanita bersurai perak panjang di sampingnya.

"Masih belum," ucap si wanita sembari menggelengkan mustaka. "Mereka masih belum selesai menganalisa kejadian yang sedang terjadi."

Jari jemari si wanita yang tampak lentik lagi indah terus bergerak naik turun menekan tombol di papan ketik. Bayangan layar biru tampak di kedua bola matanya. Sepasang manik berwarnakan nilakandi itu menatap dengan tajam, tidak melewatkan satu pun aksara yang muncul di layar yang ditatapnya.

Dia tampak seperti seseorang yang tidak dapat diganggu. Tatapannya tidak akan dapat dialihkan semudah itu. Paras ayunya menampakkan kesungguhan dan keseriusan, serta tanpa senyuman. Tampak jelas dedikasi yang besar dari tatapan serta gerakan cepat jari jemarinya.

"Jangan memaksakan diri," si jelita bersurai kelam menepuk bahu wanita di sampingnya. "Meski kita berusaha menganalisa semua informasi yang ada saat ini, kita takkan dengan mudah mendapatkan jalan keluar. Kita masih kekurangan informasi yang kita butuhkan."

"Memang." Si wanita bersurai perak tampak murung. Jari jemarinya berhenti bergerak. "Tapi, jika memikirkan semua kejadian ini, rasanya pasti ada sesuatu yang salah."

"Aku tahu." Tangan si surai kelam membelai surai perak wanita di sampingnya dengan lembut.

Belaian tangan yang putih seputih susu yang begitu lembut membuat Clara berpaling. Si surai kelam tersenyum, menghiasi paras ayunya setelah selama beberapa waktu senyuman itu tidak nampak. Tangannya merengkuh, membenamkan Clara ke dalam pelukannya. Dia melakukan itu karena baginya Clara tampak sedang lelah. Ya, Clara memang sudah lelah, dan dia tahu akan hal itu.

"Sudahilah untuk hari ini. Kita bisa melanjutkannya besok pagi."

"Haruka." Clara membenamkan wajahnya ke dalam pelukan si surai kelam. Dia sudah lelah, dan ingin memanjakan dirinya dalam pelukan hangat dari seseorang yang dicintainya.

Independent Sky - Against the White DragonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang