Bintang Selatan

41 11 19
                                    


Seperti layaknya pagi-pagi yang telah berlalu, matahari masih keluar dari arah timur. Pagi yang masih dengan warna keperakan, masih dengan sambutan kicau burung. Pagi yang masih dengan aromanya yang khas, masih dengan mesin-mesin yang baru keluar dari garasi, masih dengan suara penjual bubur keliling. Pagi yang biasa layaknya pagi-pagi sebelumnya adalah pagi yang terlihat ketika aku membuka mata.

Matahari yang sama dengan matahari kemarin, kemarin lusa, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu, dan mungkin ratusan juta tahun yang lalu. Matahari itu tetap sama. Aku tau tak akan berganti, meskipun aku meminta untuk diganti karena ia tak mau sekalipun menunggu. Matahari yang egois.

Aku melihatnya ketika aku membuka pintu rumah. Ia sudah duduk mentereng di langit. Posisinya terus merangkak, namun nampaknya ia menikmati. Apalagi ketika melihat manusia yang nampak terburu-buru. Dia akan menambah energinya. Lebih panas dan lebih terik sehingga manusia yang berada di bawahnya lebih tergesa-gesa. Aku menatapnya benci. Kebencian yang akan menguap seketika.

"Tidak sarapan?" Ibu menyapaku ketika aku tergesa-gesa mengenakan sepatu. Celemeknya penuh tepung.

"Ehm..tidak. Aku piket," jawabku.

"Cobalah bangun lebih pagi, " seseorang keluar dari balik pintu dapur. Ayah.

Aku mengangguk. Tak mendebat. Ia jarang berbicara namun ia selalu benar.

Selesai. Pintu berderit. Matahari terus merangkak naik. Akhirnya aku berada dalam situasi sedikit berlari dan berjalan yang silih berganti.

Menjadi murid SMA, itu menakjubkan. Aku pikir begitu ketika aku masih mengenakan baju putih biru. Apalagi ketika melihat gadis-gadis SMA berkumpul. Dandanan mereka luar biasa, gaya mereka keren. Perbincangan mereka pun jauh dari duniaku. Sepertinya mereka tau segalanya. Apalagi ditambah baju putih abu-abu yang nampak begitu maching. Aku ingin segera menjadi murid SMA. Tapi tidak sekarang.

Sudah satu tahun lebih aku bertitle murid SMA dan itu membuatku dapat menyadari semuanya. Menjadi murid SMA tak semenyenangkan murid-murid SMA di sinetron. Kenyataan itu lebih pahit daripada nasi goreng gosong buatan Ayah.

"Sepulang sekolah mau kemana?" Ranu mencomot buku di tanganku. Ia lalu duduk di bangku Tanya, disampingku.

"Mungkin pulang, atau ke perpustakaan kota," jawabku seraya meletakan kepala di meja. Aku memejamkan mata. Waktu istirahat masih lima menit lagi.

"Kau tau masalahmu? Harapanmu terlalu tinggi, tapi kau tak berusaha memenuhinya."

"Kamu minta berkelahi?" aku membuka mataku seketika, menatap Ranu.

"Aku hanya membaca, Richa," Ranu menyodorkan buku yang terbuka ke depan mataku.

Aku kembali memejamkan mata. "Aku bosan, kita kabur saja. Panjat tembok, ketahuan satpam dan kita dipajang di bawah bendera. Kita menjadi terkenal."

"Kamu saja, aku tak mau ikutan," kata Ranu acuh. Persahabatan yang rapuh. Aku mendengus sebal.

Ranu, gadis menyebalkan dan tak punya perasaan mendalam. Tapi aku menyebut dia teman. Karena dia orang pertama yang aku kenal di sekolah ini. Kejadiannya tentu saat MOS.

Aku dan Ranu tak sekelas, namun aku cukup mengenalnya dengan baik karena dia pernah menceritakan segalanya padaku.

Setidaknya ia mirip denganku. Ia punya harapan besar pada masa SMA yang menyenangkan. Hal itulah yang menyebabkan ia secara terang-terangan mengisahkan ceritanya yang panjang kepadaku, yang dia harap akan menjadi sahabat sejatinya, sahabat yang bagai kepompong. Harapan itu pupus, begitu juga aku karena kami tak pernah menangis bersama. Ia menangis dan aku akan terdiam saja. Aku tak semelankonis dia. Aku tertawa terbahak, dia tersenyum saja. Dia tak sekonyol aku. Kami tak bisa menjadi sahabat. Hanya teman saja. Apa bedanya?

Rigil Kent: Kaki yang BerjinjitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang