Empat Koma Empat Tahun Cahaya

19 2 0
                                    


Mimpi itu menjadikanku berlari kencang!
Terra tak melepaskan pegangan tangannya. Sepertinya ia sudah bertekad bulat. Aku pun yang memiliki tangan yang tengah ia genggam tak bisa melakukan banyak hal. Kini kami dipisahkan lubang jendela yang terbuka, dan matanya terus menatapku. Penuh ancaman.
Sejam lalu, seperti biasa dia datang ke perpus. Mungkin memang sudah menjadi jadwal rutinnya datang untuk menggangguku. Dia berbicara banyak hal, dan seperti biasa aku mengacuhkannya. Aku pikir dia kesal ketika tiba-tiba ia mencengkeram tanganku. Namun kemudian dia berkata bahwa aku harus ikut dengannya ke suatu tempat. Jelas aku menolak. Aku bukan gadis pembangkang yang suka memanjat jendela. Meski pikiran liar itu sering menelusup otakku. Tapi aku masih waras. Aku tidak mau melakukan hal bodoh itu.
Terra memaksa. Banyak hal yang dikatakannya, tapi aku tak mengerti satupun yang ia maksud. Ia akhirnya menyeretku ke arah jendela dan ia melompat. Kini tinggal aku yang masih berada di dalam perpustakaan.
“Kau akan menyesal jika kau menolakku kali ini. Aku serius,”
“Terra, jangan masukan aku kelingkaranmu. Kau tau kan aku anak baik-baik. Sekarang lepaskan tanganku. Aku tak akan melapor jika kau kabur,” kataku dengan wajah memelas.
“Kau harus ikut. Apa aku harus menggendongmu?” Terra berusaha masuk kembali. Sepertinya dia benar-benar akan melakukan tindakannya.
“Oke. Tidak perlu. Aku akan ikut,”
Aku masih tidak percaya dengan keputusan yang aku buat. Bagaimana mungkin aku menjerumuskan diriku sendiri kedalam lingkaran hidup Terra yang berantakan. Oke, mungkin terlalu kejam mengatakan hidupnya berantakan. Hidupnya tak seberantakan itu. Tapi hidupku jelas  jauh dari kebisingan dan aku tak mau masuk kedalam dunianya yang bising.
Aku tau konsekuensi jika aku ketahuan kabur dari sekolah. Karena itulah aku hanya berkata saja jika aku ingin memanjat pagar. Aku tak pernah ingin merealisasikannya. Hukumannya lebih berat daripada  hukuman karena datang terlambat. Aku sering melihat Terra melakukan berbagai macam hukuman. Belum lagi gunjingan. Hidupku tak akan lagi tenang.
Tubuhku sudah berada di atas angkot ketika aku sadar. Tidak penuh, hanya ada aku dan Terra serta seorang ibu muda dengan anaknya yang masih kecil. Memang bukan waktu anak-anak sekolah bubar. Disampingku duduk Terra yang memandang lalu lintas dari balik jendela. Aku menatapnya sebal. Aku sudah terseret dikehidupannya.
“Kita mau kemana?”
Terra mengalihkan pandangannya. Kini ia menatapku dengan lekat. Aku tercekat.
“Kau ikut saja,” sebuah senyum tersungging di bibirnya.
Kami akhirnya turun di sebuah tempat, jauh dari sekolah. Jauh dari keramaian. Sebuah bukit menjulang di depanku.
“Kita tidak akan kesana kan?”
“Aku kawatir kita harus sampai ke puncak.” Terra menengadahkan wajahnya.
“Kau bercanda? Aku memakai rok, tidak mungkin aku mendaki,”
Aku tau bukit itu. Aku dan teman-teman satu angkatan pernah mendakinya sekali ketika acara penerimaan tamu penegak. Kemah selama satu hari di atas sana membuatku seminggu selanjutnya merasakan pegal disekujur tubuh. Tidak terlalu tinggi memang, tapi lebih baik menaiki tangga gedung bertingkat sepuluh daripada mendaki bukit itu. Lagipula aku tak suka mendaki, serendah apapun itu.
Terra menatapku. “Aku bodoh. Aku salah membawa orang. Ayo kembali,” ucapnya seraya menyambar tanganku.
Kembali? Dia memang bodoh.
Benar saja. Dia menyetop angkot yang akan membawa kami kearah sekolah. Aku diam seribu bahasa, menahan agar emosiku tidak tersembur keluar.
Tapi sebelum sampai disekolah, Terra menghentikan angkot. Dia menarik tanganku lagi. Apa aku seperti layangan yang ditarik-tarik?
“Kita belum sampai sekolah.” protesku seraya mengikuti langkahnya.
Aku pikir aku bodoh. Kenapa aku harus mengikutinya?
“Siapa bilang kita akan kembali ke sekolah. Aku tau jalan keluar agar tidak diketahui satpam, tapi tidak jalan masuk. Jadi lebih baik kita selesaikan acara kita,” ucapnya tanpa menghentikan langkah.
“Acaramu, bukan acaraku,”
Apa aku nampak seperti gadis nakal sekarang. Jam pelajaran masih berlangsung di sekolah manapun, namun aku berada di luar lingkungan sekolah mengikuti seorang laki-laki brandal. Aku pikir belum terlambat jika aku kembali ke sekolah sekarang. Aku bisa membuat alasan apa saja.
“Terlambat. Guru sudah menyatakan kau bolos,” ucap Terra seperti tahu apa yang aku pikirkan.
“Ini ulahmu,”
“Jangan menyalahkanku. Kau pun sebenarnya ingin mengikutiku. Jika tidak, kau bisa menolakku ketika di perpus tadi,”
“Hei, kau mau menggendongku,”
“Siapa yang akan melakukan itu, aku hanya bercanda. Aku tau kau berat. Aku tak akan sanggup melakukannya.”
Menyebalkan!
“Ayo!” Terra menarik tangaku lagi. Ia berjalan tergesa-gesa. Terpaksa aku mengikuti irama langkahnya yang panjang dengan berlari kecil.
“Kita mau kemana?”
“Tempat yang bagus.”
Tempat yang bagus itu ternyata sebuah tempat di pinggir sungai, di bawah jembatan. Ada dataran yang cukup luas. Mungkin seluas lapangan badminton.
Aku tidak tau ada tempat seperti ini sebelumnya. Rumput hijau yang lapang, nampak tertata rapi seperti di rawat oleh tukang kebun amatiran, beberapa bunga putri malu yang mekar, dan suara bising kendaraan terdegar dari kejauhan.
“Tempat persembunyian yang sempurna. Orang tidak akan melihatmu dari atas,” sindirku.
Ia duduk di atas rumput. Aku mengedarkan pandanganku kesekitar. Air sungai mengalir lancar. Tidak ada sampah. Meski airnya tidak bening namun tidak mengganggu. Setidaknya tidak berbau busuk. Hanya bau khas air sungai.
“Tempat yang tenang kan?” tanya Terra seperti bangga akan tempat persembunyiannya.
Aku membalikan badanku menatap Terra. Mata Terra tertutup. Nampaknya ia sangat menikmati tempat ini.
“Apa kau selalu kesini? Aku pikir kau ke klub atau sebagainya,” aku melangkah ke arahnya.
“Aku berandal, tapi aku tak menyukai tempat-tempat seperti itu. Aku pun tak merokok. Kau tau itu?”
“Aku tak tau, dan kenapa aku harus tau?”
“Mulai sekarang kau harus tau. Aku berkelahi dengan Uno karenamu, kau tahu kan?”
Aku tercekat. Meski aku tak yakin tapi aku selalu mengira-ira demikian. Jika benar kata Terra, Uno menyukaiku, pasti Uno akan marah ketika tau Terra selalu mengelilingku. Aku pun seharusnya marah.
“Siapa yang menyuruhmu berkelahi dengannya?” aku mengalihkan pandanganku ke aliran sungai.
“Tidak ada. Uno hanya tidak suka aku dekat denganmu. Bukan urusannya kan jika aku dekat denganmu, lagi pula kau tak menyukainya,”
“Kau mengatakan padanya?”
“Salah? Apa kau sudah berubah pikiran?”
“Kau berlaku terlalu jauh,”
“Kenapa? Kau tak suka? Aku hanya ingin bersamamu,”
Aku merasakan tatapan mata Terra dari balik punggungku. Rasanya panas. Akhirnya aku membalas menatapnya, namun ia malah mengalihkan wajah.
“Sabtu sore kita mendaki bukit tadi. Aku tunggu di pemberhentian jam empat,” kata Terra seraya bangkit. Tanpa menungguku ia melangkah pergi. “Sudah jam pulang. Lebih baik kau minta tolong temanmu untuk membawa tasmu keluar.”
“Aku tak bilang setuju akan mendaki,”
“Aku tau kau akan datang,” katanya sayup-sayup.
**

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 02, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rigil Kent: Kaki yang BerjinjitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang