Luke

27 9 2
                                    

"Ngeliatin apa?"

Gue mengedikkan bahu, tapi untuk sekali lagi, melemparkan pandangan pada dua anak kecil yang sekarang sedang bermain hujan.

"Pengen punya anak?"

Gue tertawa, menggeleng atas pertanyaan jack. Badan boleh gede, umur boleh tua, tapi pemikiran masih aja kayak dulu.

"Pengen jadi kecil lagi." Lirih gue, tersenyum miris. "Pengen jadi kayak mereka."

"Dulu, waktu kecil, kan cuma elu sama ben yang main ujan berdua. Gue dikurung sama mama, nggak boleh. Sialan emang lo." Gerutu gue, yang kali ini gantian membuatnya tertawa.

"Makanya, jangan jadi anak bungsu." Cibirnya. "Everything seems like it was on a fast-forward mode. Lo udah kuliah, bentar lagi gue nikah... Gak kerasa."

Gue mengangguk.
"Kayaknya baru kemaren lo numpahin coca cola gue, sampe kita berantem tiga hari."

"He said sorry."

"Buat?"

"Ya, nggak bisa dateng." Ujarnya. "Ben kayaknya dapet orang vietnam buat jadi istri. Belakangan ig storiesnya isinya tuh cewek doang."

"Ya baguslah." Gue merapatkan jaket; udara siang ini lebih dingin dari biasanya, hujan juga awet turun sejak pagi tadi, tanda musim gugur hampir tiba. "Kan itu impian dia dari dulu: dapet cewek luar."

"Lo tau nggak, kenapa dia mau dapet cewek luar?"

"Karena seksi?" Tebak gue, asal.

"Point sekian, iya karena seksi." Diluar dugaan gue, jack mengangguk. "Tapi masih ada point pertama."

"Apa tuh?"

"Karena, dia mau anaknya birasial." Sahutnya. "Kayak adek lo."

"He find that it was intresting to have a kids, that just looks like them." Sambungnya, lagi. "Mali, Calum, Kaka, gitu lah."

"Mm hmm." Angguk gue, kembali melempar pandangan pada air hujan yang turun. Sesekali gerimis, kemudian disusul hujan dengan frekuensi sedang. Seharian, belum ada hujan deras, meskipun hujannya awet.

Tik,

Tik,

Tik.

"Hasil diagnosa bisa diketahui tiga hari lagi. Apapun hasilnya, kami akan berusaha sebaik mungkin untuk kedepannya."

Tik,

Tik,

Tik.

"Lewi takut, ma."

Tik,

Tik,

Tik.

"Saya menemukan kesalahan pada syaraf mata, dan itu identik dengan pertumbuhan sel tumor di kepala. Jangan khawatir, saya juga belum yakin soal ini."

Tik,

Tik,

Tik.

Gue takut.

Cuma takut, itu aja.

Belum yakin, katanya?

Apa apaan.

"Luke?"

Gue terhenyak; ketakutan gue lantas runtuh semua—suara Jack mendominasi seluruh atmosfer gue.

"Telfon." Jack menunjuk handphone gue yang sejak tadi ternyata ada telfon masuk, cuma karena gue silent, jadi ngga geter atau bersuara.

"Kaka?" Gumam gue. "Kenapa, Ka? Kok boleh pegang handphone? Udah pulang?"

Kakak • lrhHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin