02:21
Siapa bilang laki ngga bisa cengeng?
Seharian, kerjaan gue cuma tidur— bangun, nangis lagi sampe tidur.
Gitu terus.
Gue pasti ngga sakit, ini cuma mimpi.
Mata gue panas lagi; ah, harus gimana...
"Luke?"
Gue menoleh; mendapati Mali yang masih duduk di sofa; bekerja, menatap laptopnya.
"Sempit, ya?" Tanya Mali, kali ini menghampiri gue, nyaris membangunkan Kaka, kalau aja gue ngga nahan tangannya.
"Jangan," geleng gue. "Jangan dibangunin."
"Dia..." Gue menyisir rambut gue kebelakang dengan jari; pasti gue ngga bisa ngelakuin ini lagi, kalo udah kemo... "Dia gimana tadi pagi sekolahnya? Lo bawain dia bekel apa? Ada PR nggak dia, hari ini?"
Mungkin gue harus mulai mikirin orang lain, bukan diri gue sendiri— bukan cuma keadaan gue yang butuh perhatian, kan?
Mali tersenyum tanpa arti, kali ini duduk di sebelah tempat tidur gue.
"Lo tuh terlalu banyak mikirin Kaka, Luke. Sekali kali, lo harus punya waktu buat diri lo sendiri."Gue tersenyum tipis; jujur merasa sangat egois kalo harus mikirin diri sendiri terus, karena cepat atau lambat, perhatian orang orang pasti berpusat pada gue; gue bakal amat sangat merepotkan orang lain. Menyita waktu mereka, menguras tenaga mereka, menghabiskan uang mereka, dan...
Bakal jadi beban, lah, intinya.
"Kaka bawain ini, buat lo katanya." Mali menyodorkan sebuah rumah rumahan yang sekelilingnya dikelilingi lampu kecil. "Ini tugas kelompoknya sama temennya. Dia yang bikin rumahnya, temennya yang bikin rangkaian listriknya."
"Tapi sama dia nama temennya dihapus." Senyum Mali. "Biar lo kira, dia yang bikin semua."
Gue tertawa kecil; tawa pertama dari mulut gue, yang gue dengar seharian ini.
"Konyol.""Thanks." Senyum gue balik, kembali menaruh itu di meja lampu sebelah. "Mama mana, mal?"
"Pulang, katanya. Gue yang jaga." Sahut Mali. "Ada Ben juga, dibawah. Lo mau gue telfonin mama?"
Gue menggeleng; gue cuma mau tau keadaan mama gimana, karena kasihan dia berhari hari disini terus.
"Ngga usah, ngga apa apa. Lo kok ngga tidur?""Lusa gue pitching, harus menang, makanya totalitas." Ia kembali berfokus pada laptopnya, yang kali ini tidak lagi berada di meja, melainkan di pangkuannya. "Lo nggak laper?"
Gue menggeleng; menyandarkan kepala pada tumpukan bantal di belakang. Pikiran gue kembali melanglang entah kemana. Gue benci ini.
"Oh, ya," sahut Mali; yang harusnya gue beri penghargaan, karena sudah menyingkirkan segala pikiran gila yang hampir masuk kembali ke kepala gue. "Barangkali lo mau lihat."
Ia kembali menyodorkan map hitam pada gue; isyarat meminta gue membukanya.
"Apa, nih?" Tanya gue, yang tentu bertanya; karena map itu tertera nama panjang Kaka.
"Buka aja." Acuh Mali, masih setia menatap laptopnya.
Beasiswa? Sekolah atletik? Apaan, nih?
"Ini buat siapa, Mal?" Tanya gue, yang bingung ini untuk Kaka atau Calum—karena dua duanya hampir sama bakatnya di bidang olahraga. Ya, bisa aja Calum dapet beasiswa dari kampus lain, kan?
"Kaka." Jawabnya. "Dia waktu ujian praktek lari seratus meter, dapet rekor sebelas detik; tercepet diantara temen temennya."
Buset.
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Kakak • lrh
Fanfiction"Kakak?" "Kakak kenapa harus pergi jauh?" "Kalo kakak pergi jauh, aku mau ikut, mau sama kakak... Kakak disini aja, jangan pergi..." Gue tersenyum paksa. Tanpa kata, namun memeluknya erat, dengan harapan ia bisa tumbuh dewasa tanpa gue, tanpa 'kakak...