Calum

21 7 0
                                    

"Lo siapa?"

"Gue IP lo, Cal."

"IP apaan? Lu sapu lidi, gila."

"Masa sih?"

Kemudian, sapu lidi yang gue lihat berubah menjadi rangkaian angka; 1.03

"Mana ada!"

Gue menatap sekitar; mata gue masih berat bukan main, tapi gaya tidur gue gak beraturan. Baru gue sadar, kalo konskinya jack ada didepan muka gua; mungkin ini pabrik mimpi buruknya.

Sayup sayup, suara isakan orang terdengar. Jangan jangan, tadi gua ketindihan?

"Ka?" Panggil gue; lampu kamar rawat Luke gelap bukan main, semuanya pasti udah pada tidur.

"Mal?"

Gue menghidupkan handphone. Jadi merinding! At the disco, gini, sih?

"Siapa, dah?" Gumam gue, menyalakan lampu tidur; menyisakan pemandangan gak enak; kaki gue menempel pada konski ben sekarang.

Abis ini nempel di siapa lagi, nih? Ah, elah.

"Luke?" Panggil gue; yang bayangannya terlihat seperti sedang duduk, bukan berbaring.

"Luke?" Panggil gue lagi; kali ini sembari berjalan kearahnya. Makin dekat gue padanya, makin jelas pula suara isakannya.

"Eh, lo kenapa?" Tanya gua, duduk disamping tempat tidurnya. Iya, daritadi dia yang nangis. Kirain si manis jembatan ancol kangen. "Luke? Woy?"

"K-Kepala gue sakit, Cal..." Bisiknya, yang mungkin gak ingin membangunkan Kaka.

"C-Cal—"

Gak sampai dia selesai bicara, ia memuntahkan sesuatu pada tempat kecil yang dipegangnya; suaranya mati matian diredamnya, yang ini jelas, dia ngga mau bangunin orang lain.

"Kamar mandi, coba." Gue menepuk bahunya pelan. "Daripada lu disini, ntar ngebangunin orang."

"Ayo, sini, gua bantuin." Ujar gue, sebelum dia buka suara lagi. "Ayo, ah."

Perlahan tapi pasti, gue membantunya berjalan menuju kamar mandi. Badannya dingin, kenapa ya? Padahal, dia tadi sore kayaknya baik baik aja.

"Lo kenapa gak bilang aja, sih?" Omel gue. "Kebiasaan lu, ngumpetin penyakit dari dulu!"

Ia mengacuhkan omelan gue, masih berfokus memuntahkan entah apa, karena sejak tadi gak ada yang keluar.

"Udah woy, ngga ada apa apa!" Sergah gue. "Jangan bikin gue panik, ah!"

Sepersekian detik setelah gue usai bicara, yang sejak tadi berusaha dilakukannya berhasil; ia kesakitan bukan main.

"Thats it." Gue berdiri, berjalan menuju pintu kamar mandi. "Gue panggil tante Liz."

"C-Cal, jangan." Lirihnya. "Please, jangan..."

"Ya terus lo mau gimana?!" Omel gue lagi, kali ini duduk di sebelahnya yang baru selesai muntah. "You aren't fine, luke! Batu banget jadi orang!"

"T-They s-spent millions yesterday, just for my... Surgery." Lirihnya. "I can't tell them about this."

"Sure you can!" Kesal gue. Maksud gue, bisa bisanya gitu dia nyembunyiin yang kayak gini. Kalo dia mati gimana?! "Sekarang lo mau gimana, kalo gua ngga bilang?"

"B-Bantuin gue ke tempat tidur lagi..." ringisnya. "Please?"

Gue memutar bola mata; namun akhirnya melakukan apa yang dipintanya. Emang dia peranakan batu sama manusia, gua bilang juga.

"Cal?" Lirihnya bertanya, setelah ia akhirnya kembali lagi ke tempat tidur.

"Hm?"

"Lo masih ngerokok?"

"Bacot ah." Geleng gue, menepis pertanyaan konyolnya barusan. "Bukan urusan lo."

"I'll tell you, thats not good, man." Lirihnya, kembali meredam tangis. "Ajak gue ngobrol, apa aja..."

"Tidur, Luke." Sergah gue. "Tidur aja."

"G—Gak bisa..." isaknya. "Sakit..."

"Gue bilang juga apa, Luke—"

"Cal?"

Mampus, siapa lagi itu...

"Do not tell them." Ujar Luke. "Do not."

"Serah." Sergah gue, yang bingung mau bilang apa nggak. Satu sisi, gue tentu ngerasa harus bilang. Tapi di sisi lain... ah, tau lah.

"Calum?"

"Woy, apaan sih?" Sahut gue.

"Ngomong sama siapa lu?" Tanya Jack, kali ini ikut bangun; bahkan nyalain seluruh lampu. "Silaw men."

"Matiin ah, dongo lu." Maki gue. "Ngapain sih?"

"Gabisa tidur." Keluhnya, menatap Luke yang pura pura tidur sekarang. "Sebat?"

"Ayo." Angguk gue. "Cigar?"

"Rokok aja lah." Gelengnya. "Cigar ntar disangka lu lagi bakar jagung."

"Yaudah, rokok." Angguk gue, menepuk pundak Luke pelan, membisikkan sesuatu padanya; bahwa jika ia kenapa napa, ia wajib telfon gua.

"Ayo woy, diem aja lu." Sergah Jack, kembali mematikan lampu. "Parkiran aja, ya?"

"Deket danau aja." Geleng gue. "Biar sekalian sepi."

"—biar nyebatnya bisa banyak; lu ngga usah mikir macem macem." Geleng gue lagi; mengantisipasi ia mikir yang ngga ngga. Gua ngga homo, njir.

"Gua juga ngga mau lu ewe, gila." Sergahnya, kemudian keluar kamar. "Gua nyetir."

"Mm hmm." Angguk gue balik. "Gece, ah."

"Bacot."

Data seluler gue nyalakan; siapa tau luke nanti ngasih kabar.

Semoga aja dia gak kenapa napa.

***

"Gua dipecat."

"Hm?" Gue mengernyitkan dahi sembari menyalakan korek, bingung.

"Gua," ia mengembuskan asap rokoknya; membuatnya menyatu dengan udara. "—dipecat."

"Gimana ceritanya?" Tanya gue.

"Gara gara gua ngga nemuin klien."

"Itu mah elunya goblok."

"Iya, makanya itu."

"Terus, sekarang mau gimana?" Tanya gue, yang jujur pengen ngasih saran, cuma gak tau harus ngomong apa juga.

"Nyari kerja lain." Jawabnya singkat. "Cuma ya itu, belom nemu."

"Luke juga masih harus bayar kuliah kan, meskipun dia cuti sakit?" Ia membuka suara lagi. "Bentar lagi udah tenggat waktu bayaran, pula."

"Mau pake duit gua dulu?" Gue bertanya, lagi. Wih, banyak duit lu? Iya, kemaren gue abis jual mobil, kalo aja bokap tiba tiba ngamuk dan ngancem gak mau bayarin kuliah gue lagi, gua bisa bayar sendiri. Belakangan, gue baru sadar, kalo kampus negri ternyata mahal juga BOPnya.

"Kedokteran mahal, cal. Jangan." Gelengnya; menghabiskan rokoknya, kemudian mengisap yang baru. "Gua lagi cari kerja baru juga, kok."

"Mau sampe kapan?" Gue mengembuskan sisa asap ke udara; malam ini dingin juga. "Daripada dia kena do?"

"Terus, kuliah lo gimana?"

Gue mengedikkan bahu.
"Gampang, lah."

"Bilang aja lo butuh berapa." Gue membuka baju; menceburkan diri begitu aja di danau. "Masalah balikin, itu urusan gampang."

"Kacau." Gelengnya, tersenyum singkat sebelum akhirnya ikut membuka baju, menceburkan diri ke danau.

Semoga kita ngga diseret siluman patrick.

Kakak • lrhHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin