Kepercayaan

16 1 0
                                    

Masih sempat update!!1!! Maaf Jum'at kemarin gak update, kegiatan sekolah numpuk 😂

"Apabila ... kalau aku memang seorang pembunuh, apa kau masih ingin tetap menemuiku?"

Kalimat yang terlontar itu mampu membuat seorang lelaki terdiam tanpa sepatah kata, bibirnya gemetar seperti ingin mengatakan sesuatu. Sang lawan bicara hanya memandang lakil-laki itu dengan begitu tenang, menunggu jawaban.

"Ya ... aku akan tetap menemuimu, Chieva. Diriku masih harus bertanggung jawab karena telah melibatkanmu dalam masalahku sendiri." Kata-kata bijak muncul sebagai sebuah jawaban, sembari memandang sang gadis begitu dalam.

Wajah Chieva refleks tertunduk, dengan tangan kanan terangkat untuk menghapus sesuatu di matanya, "Terima kasih, Evance."

Apa yang dirasakan Evance tampak tidak bisa ditutupi lagi di wajahnya, senyum pahit serta alis mata yang terlihat mengerut seolah merasakan hal yang hanya diketahui oleh Chieva. Seiring berbagi kesedihan, tangan Evance spontan menggapai tengah dadanya --meremas sangat kuat seperti ada yang ganjal di sana.

"Evance?" tanya Chieva yang menyadari keanehan di lelaki itu.

"Dadaku ... terasa panas ...."

Setetes air mata mengalir di pipi tirus Chieva, tanpa mempedulikan wajahnya ia memeriksa tubuh Evance. Seketika gerakannya terhenti saat melihat mata sang lelaki, merah menyala seperti darah segar.

"Jangan menangis, Chieva!" Gertakkan Evance nyaring sangat keras hingga Chieva terkejut, sangat beruntung itu adalah tempat yang begitu sepi, "Eh? Panasnya menghilang ...."

Mengusap-usap wajahnya kembali, ia memandang Evance sambil memaksa senyum, "Tadi ... kekuatan dari keturunanmu muncul, itulah yang membuat dada terasa panas."

Matanya berbinar-binar, ia tidak menyangka akan menemukan jawabannya sekarang, "Kalau begitu, apa keturu--"

"Mana bisa ketahuan kalau cuma fenomena begituan saja," potong gadis itu dengan nada remeh.

Kebahagiaan di raut muka Evance perlahan surut menjadi kecewa, seakan-akan seperti orang yang tidak punya tujuan hidup. Waktu perjalanan untuk menemukan jawabannya tampak masih sangat panjang, tidak semulus yang dikira.

Meskipun sakit di dadanya sudah menghilang, posisi tangan lelaki itu tidaklah berpindah. Jeda dialog antara mereka berdua bisa jadi karena saling bergumam dalam isi hati masing-masing.

"Saat dadaku sakit, entah bagaimana yang ada di pikiranku tadi hanyalah wajah sedih milikmu."

Mata sang gadis mulai memicing bersamaan dengan munculnya sebuah seringai, "Hmm ... gombal."

"Itu kenyataan, sungguh!" seru Evance membela diri dengan wajah yang tampak mendidih. Secara tiba-tiba ia terkejut dengan sendirinya –seolah teringat akan sesuatu yang penting, "Ngomong-ngomong ... bagaimana dengan senjataku?"

“Soal itu ... karena identitasku sudah terkuak sebagai pembunuh di kota ini, ada kemungkinan kalau pergi ke sana sekarang hal seperti itu bisa terulang kembali. Atau kau mau menunggu sampai jam tengah malam saat seisi kota mulai sepi agar lebih aman?”

“Tidak mungkin! Masih ada banyak hal yang perlu kulakukan di dimensi asalku.”

Hening di antara mereka kembali terjadi, hanya suara keramaian dari dalam mall yang mengusik kecil suasana. Sesaat Evance menunggu ide lain dari sang gadis, bola matanya bergerak mengarah sesuatu yang datang menghampiri dari lawan arah tubuh Chieva.

"Kau ... Xilo, bukan?" Ia memandang lama sosok kucing hitam itu, seperti menaruh rasa penasaran semacam tatapan saat pertama kali menemukan siluetnya.

Jamais TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang