Run, Dude! RUN!

10 1 0
                                    

Masih tak bergeming, Evance tampak terlalu terpaku dengan sikap sosok misterius itu. Dalam keheningan tersebut, keringat dingin terus mengalir dari kening Evance.

Tak jarang juga, suara jantungnya berdegup kencang hingga terdengar meskipun dadanya tidak disentuh.

Kain bawah jubah orang itu mulai menari mengikuti angin, hingga Evance tersadar dari keterpakuannya dan refleks mengangkat kaki terakhir agar bisa masuk ke kelas.

Suara hantaman antara sepatunya dengan jendela memenuhi lorong itu, hingga menarik perhatian sosok tersebut. Tubuh Evance pun oleng hingga menjatuhkan sebuah meja.

Lelaki itu nampak terkejut dengan apa yang terjadi, meskipun itu perbuatannya. Dia melihat kedua kakinya dan menemukan sebuah robekan di salah satu betis, mendapati luka yang cukup dalam.

Tak lama setelah itu, Evance menoleh ke kanan begitu cepat. Mendapati sosok itu menggenggam beberapa pisau di masing-masing jemarinya, sambil berancang-ancang.

Spontan saja Evance menarik meja yang dia jatuhkan tadi dan segera berlindung di sisi bawah benda itu. Bunyi tancapan pisau yang bertubi-tubi membuat tubuhnya sedikit berguncang terkejut.

Lelaki itu kemudian berlari secepat mungkin hingga sampai ke kursi tempatnya duduk, dan meraih tasnya tanpa memperlambat kecepatan. Sesekali dia menubruk beberapa meja, namun tidak dipermasalahkan.

Evance memutar rute jalan keluarnya sangat tergesa-gesa melalui tempat ia memasuki kelas, hingga nyaris tidak menyadari beberapa pisau melayang ke arahnya.

Berhasil keluar dari ruangan itu, namun mendarat sangat tidak tepat. Pundak dan sikut kirinya mengalami pendarahan, namun Evance kembali berdiri dan berlari lagi.

Adrenalin memacu dirinya untuk terus melarikan diri, hingga dia hampir kehilangan indra perabanya untuk merasakan rasa sakit. Bahkan Evance tak dapat berteriak saat mencabut pisau dari pundaknya.

Cukup melegakan saat Evance menyadari bahwa larinya lebih cepat dibandingkan orang itu, namun tidak dipungkiri bahwa dirinya belum aman dalam situasi seperti ini.

Orang itu pun kehilangan jejak Evance, kemudian berjalan begitu lambat hingga sepatu kulitnya menggema pelan seisi lorong. Tampak tidak ada minat untuk mengejar Evance, bahkan sulit dibaca ekspresinya karena tertutup kupluk jubah.

Saat hendak berbelok ke lorong lain, tubuh orang itu terhentak mundur seraya meraba perutnya. Darah mengalir dari jas hitamnya, muncul dari pisau yang tertanam begitu dalam di kulit bawah dadanya.

"Bullseye ...," ucap Evance seraya menyeringai dengan posisi tubuh seperti pelempar lembing yang telah melempar senjata pamungkasnya.

Kupluk yang menghalangi wajahnya pun sedikit mundur ke belakang kepala, menampakkan muka terbalut topeng putih dengan detail yang sulit dijelaskan. Kepalanya tertunduk seperti menatap Evance begitu dalam.

Evance sempat sedikit tertegun saat melihat topengnya, kemudian kembali melarikan diri. Langkah kaki lelaki itu sedikit melamban saat mulai merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Tangan kanannya meremas sikut kirinya kuat-kuat, serta sesekali merintih hingga meringis, "Dia ... siapa? Tidak, jangan pikirkan itu .... Aku harus bisa kembali ke rumah sekarang ...."

Tanpa dia sadari, dirinya telah sampai di pintu utama, namun keterkejutan menghampiri Evance saat mendapati bayangan manusia di dekat gerbang akademi. Keringat dingin mengucur kembali dari wajah lelaki itu.

Untuk berjalan saja sudah tampak sulit bagi lelaki itu, apalagi bertarung dengan tangan kosong. Lengan kirinya pun bisa melemahkan pergerakan Evance, jadi bertarung bukanlah solusi yang tepat.

Lagipula, jalan keluar selain melalui gerbang adalah memanjat melalui dinding, tetapi meskipun Evance bisa melakukannya --kondisi tubuhnya sekarang sangat tidak mendukung.

Anehnya, Evance melangkahkan kakinya untuk keluar dari akademi dengan tenang. Derapan sepatunya mengiringi nyanyian jangkrik, meskipun tempo mereka tidak sinkron.

Jarak antara dua manusia itu semakin dekat, namun belum ada gerakan mencurigakan di antara mereka. Wajah Evance pun tetap lurus menuju gerbang, mencoba menghiraukan keberadaan orang misterius itu.

"Kkh?!" Evance terkejut secara tiba-tiba saat menyadari sesuatu telah mengikat lehernya hingga tak bisa bergerak.

Sebuah lengan melingkari leher Evance begitu erat hingga lelaki itu kesulitan bernapas. Evance berusaha melepaskan lilitan itu dengan tangannya, tetapi rasa kecapaian membuat usahanya sia-sia.

"Sejak ka ... pan kau di ... belakangku?" Mulutnya sulit untuk berbicara karena lehernya yang tercekik, dan kebingungan saat keberadaan orang itu yang berpindah begitu cepat.

Tak ada jawaban, namun cengkeramannya tetap tidak terlonggar. Orang misterius itu nampak tidak mengenal belas kasih.

*JDUK*

Ubun-ubun Evance menghantam topeng orang itu begitu kuat, hingga tubuhnya sedikit mundur ke belakang. Napas Evance pun perlahan lepas dari rasa sesak, merasakan sejuk segarnya oksigen.

Mengambil kesempatan yang ada, Evance kembali melarikan diri seraya mengatur napas sambil sesekali terbatuk-batuk. Dia tidak ingin menoleh ke belakang, seolah berharap bisa melupakan semua kejadian yang dia alami hari ini.

Lelaki itu pun berhasil keluar dari akademi, menyusuri jalan setapak berbahan aspal yang begitu sepi di sertai ancaman yang terus menghantui Evance.

Sebuah pisau tertikam kembali di tubuh lelaki berambut kuning kemerahan itu, kali ini di punggung kanannya. Evance tetap menghiraukan itu seraya terus melakukan apa yang harus dia lakukan.

Akan tetapi, langkahnya semakin melamban --bahkan nyaris tersungkur. Dan kali ini, Evance memberanikan diri menengok ke belakang. Sebuah bayangan yang ingin dia hindari sekarang telah berada di belakangnya.

"Apa maumu?" Lelaki itu tetap mempertanyakan sesuatu yang tidak akan pernah dijawab olehnya.

Lagi-lagi, tetap tidak ada satupun kata yang terlontar dari topeng itu. Kedua tangannya pun telah siap dengan senjata masing-masing, bahkan mata pisaunya mengarah tepat pada wajah Evance.

Evance perlahan membungkuk sambil merasa lelah dari cara bernapasnya yang begitu lambat, pendarahannya pun tak berhenti hingga wajahnya pucat seperti susu.

Tanpa ada aba-aba, orang itu menghantam wajah Evance dengan gagang pisau. Tubuh lelaki malang itu terlontar cukup jauh hingga keluar dari jalur aspal.

Manusia berkupluk jubah itu menghampiri posisi tubuh Evance seraya memutar-mutar pisau layaknya mainan, kemudian mengangkat dagu lelaki itu dan mengarahkan padanya.

"Lemah." Suara yang begitu berat, terdengar samar karena tertutupi topeng. Namun sangat jelas bahwa itu suara laki-laki

Pupil Evance mengecil begitu cepat saat ejekan singkat itu berakhir, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

Sebelum bertanya lebih jauh tentang maksud ucapannya, hantaman dari gagang pisau orang itu mendarat kembali --kali ini tepat di bagian perut.

Seketika lelaki itu langsung kehilangan keseimbangan, namun kesadarannya masih tetap terjaga. Menyadari hal tersebut, lawannya kembali memberikan hantaman di kepala Evance.

Tubuh lelaki itu perlahan lunglai, dan akan terjatuh mengenai tanah. Sebelum itu terjadi, orang itu menahan tubuh Evance dan merangkul lengannya di leher.

Orang itu membawa Evance ke hutan di dekat akademi dan menyandarkannya di salah satu pohon. Kepalanya tertunduk, serta tertampak jelas mata merah Evance terbuka lemas --memandang dengan tatapan kosong.

"Perjalananmu akan dimulai besok, Evance."

Jamais TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang