(After) Agony

12 1 0
                                    

Detik demi detik berlalu, Chieva memandangi punggung Evance sambil menaruh rasa curiga. Lelaki itu hanya berdiam tanpa sepatah kata maupun gerakan setelah memilih senjata yang ingin ia coba.

Gadis itu menoleh ke arah ayahnya yang tampak memiliki perasaan yang sama, karena keheningan di ruangan itu terasa sedikit mengganjal.

Lebih parahnya lagi, belum pernah ada yang mencoba metode seperti ini selain Evance.

Napas lelaki itu perlahan terdengar berat, seolah sesuatu telah terjadi --anehnya tidak ada yang terlihat tak familiar di sana.

Genggaman tangannya di tombak mulai mengerat begitu kuat, serta berbalik badan sembari merendahkan tubuh dengan posisi menyamping ke kanan dan tangan kanan memegang senjata di balik sang badan.

Tanpa berpikir lebih jauh, Chieva langsung mengambil sabitnya seraya melakukan ancang-ancang. Mata coklatnya terus terfokus pada Evance seperti predator yang memberi target pada mangsa.

Tangan Evance yang awalnya cerah mulai berubah menjadi sisik berwarna biru, serta tatapan kosong sudah mencirikan dengan jelas apa yang terjadi padanya.

Derap kaki pun memenuhi ruangan, bersamaan dengan tombak yang terombang-ambing oleh angin. Penyerangan pun di mulai oleh Evance.

Tanpa beranjak dari pijakan, Chieva melemparkan sabit dengan mengayun di posisi sejajar dengan mata kaki. Serangan itu pun berhasil membuat gerakan Evance melambat karena menghindar.

Gadis itu perlahan memacu langkahnya memutari ruangan, dengan posisi telapak tangan kanan terbuka mengarah senjatanya yang masih berputar. Perlahan, sabit itu berputar mengikuti Chieva.

Saking fokus ke senjatanya, sepatu Chieva mulai mengaus mendadak. Sebuah tombak menancap di dinding hingga mengiris sedikit pelipis sang gadis.

Bahkan sebelum berpikir apa yang harus ia lakukan, Evance sudah berniat untuk menjatuhkan keseimbangannya dengan meluncurkan kakinya.

Spontan, Chieva meloncat sambil memijakkan kedua kaki di batang tombak --kemudian menjadikannya sebagai pantulan seperti di atas trampolin. Gerakan refleksnya berhasil membuat jarak aman.

Sesampainya sabit miliknya mendarat di telapak tangan, ruang bawah tanah itu mulai bergetar hebat layaknya gempa bumi. Retakan mulai muncul dari sudut lain yang mengarah ke posisi Evance.

Mencoba menerka apa yang terjadi, ia mendapati ayahnya menghantam permukaan dengan palu besar yang dua kali lebih besar dari tubuhnya. Pria kecil itu menoleh ke arah Chieva seraya memasang wajah masam.

"Mana ada ayah yang ingin melihat anaknya terluka," ucapnya dengan bangga sambil menaruh senjata bersandar di pundak.

Gadis berambut magenta itu tidak menjawab, hanya tersenyum kecil seraya mempertahankan fokusnya kembali pada teman lelakinya.

"Pasti ada yang kau sembunyikan, Reiza." Chieva memutar sabitnya kembali dengan cara yang sama, namun kali ini ia bukan berkeliling --tetapi menerjang musuh secara langsung.

Putaran sabitnya tidak dihindari, namun ditangkis sembari mencoba menghunuskan ujung tombaknya pada Chieva. Tak ada apapun yang bisa dijadikan gadis itu sebagai pertahanan.

Sepersekian detik, Chieva meraih batang tombak serta membelokkan arah tusukannya ke atas dengan kekuatan dorongan dari tubuh. Tindakannya ini sekaligus membuat Evance tertubruk ke belakang karena tubuh sang gadis.

Kedua orang itu sama-sama terhempas ke permukaan ruangan, meninggalkan luka goresan di sekujur tubuh. Evance pun langsung berdiri tanpa mempedulikan rasa sakit, seakan-akan indra perasanya sudah lenyap.

"Fina … kau membunuh Fina hanya dengan alasan seperti itu?!"

Mata sang gadis sedikit memicing, serta dahi yang mengerut bertanda kebingungan, "Fina? Siapa?"

Belum sempat pertanyaan itu dijawab, lelaki itu kembali menghunuskan tombaknya. Mengingat posisi mereka terhempas tidak begitu jauh, Kali ini, Evance memusatkan bidikannya tepat di dahi gadis itu

Tak ada rasa gentar, Chieva terus menaruh fokus matanya pada lelaki itu. Dua pasang mata pun bertemu, seolah berkomunikasi tanpa ucapan.

Angin pun mulai terbelah oleh metal runcing di ujung tombak, tanpa memberikan Chieva kesempatan terakhir sama sekali.

Tiba-tiba, sebuah palu kecil dari arah lain melayang seraya berayun begitu cepat. Bertubrukkan dengan metal tombak hingga hancur berkeping-keping. Menjadikan senjata panjang itu hanya sebagai tongkat.

"Baik! Baik! Aku akan ceritakan semuanya," ujar pria itu dengan wajah pucat berkeringat dingin, menyadari anak angkatnya bertaruh dengan cara seperti itu.

Gerakan Evance berhenti saat menyadari kerusakan di senjatanya, dan Chieva pun memanfaatkan situasi saat pandangannya terkecoh.

Gadis itu melumpuhkan otot tangan Evance, kemudian membalikkan tubuh lelaki itu dan menghantamnya ke permukaan ruangan. Sebelum tangannya bertindak, dengan sigapnya Chieva meluncurkan siku tangan pada belakang leher Evance.

Seketika, lelaki itu kehilangan kesadaran --bersamaan dengan sisik biru di tangannya perlahan lenyap termakan waktu. Gadis itu langsung terduduk lelah sembari mengambil kembali sabit besarnya dengan gravitasi.

"Mengapa kau tidak memberitahunya dari awal?" tanya Chieva seraya terus menatap tajam Reiza.

"Dia tidak memberiku jaminan untuk ini."

"Evance tidak tahu apa-apa tentang dimensi ini, ia butuh bantuan. Dan ayah … masih berpikiran seperti itu?" Gadis itu memegangi sabitnya erat-erat, tampak begitu geram.

Acuh tak acuh, Reiza mendengus dengan kerasnya, "Mengapa kau banyak bicara belakangan ini?" Alis putihnya naik sebelah, menyadari hal yang tak biasa dari putrinya, "Memangnya dia itu siapa?"

Sontak pertanyaan ayahnya membuat Chieva sedikit membelalak mata. Ia pun langsung membuang wajah, "Dia … memiliki sesuatu yang telah kucari dan mungkin ada--"

"--Cinta?"

"Bukan!" Sang gadis langsung menengok dengan menunjukkan amarah bercampur merah muda di pipi yang sudah tak terbendung.

Pria tua itu tampak tertawa bahagia, entah bangga karena bisa mempermainkan putrinya atau dapat mengubah hawa suasana, "Kau tampak lebih ekspresif sekarang, Nona Chieva. Tidak seperti saat pertama kali kita bertemu."

"… Benarkah?" Bola matanya bergemetar, serta kelopaknya yang terus mengedip. Senyuman kecil mulai muncul, "Aku yang menanggung semua jika ayah keberatan."

Reiza hanya menggeleng seraya mendekat pada anaknya, menepuk kepala gadis itu sembari mengusapnya, "Tidak, kau tak perlu melakukannya, Nak."

"Apa … maksud ayah?"

"Anak itu tidak akan menemukan jawabannya di sini."

Chieva nampak terheran-heran dengan ucapan ayahnya, akan tetapi ia melihat Reiza pergi ke sisi lain untuk mengambil tangga --kemudian menaruhnya di salah satu rak untuk mengambil sebuah gulungan kecil di sana.

Bersin tak karuan terdengar sangat jelas dari mulut pria tua itu, hingga ia harus menutup hidung untuk membersihkan debunya. Reiza membuka gulungan tersebur di hadapan anaknya.

"Ini ... peta negara Ukraina?"

"Ya, satu-satunya petunjuk hidupku saat masih muda." Pria itu nampak bernostalgia saat berbicara, mengingat petualangannya di masa lalu.

Masih dengan ekspresi bingung, sang gadis mulai menunjuk salah satu titik di peta itu, "Chernobyl di sini, bukan?"

Sang ayah hanya mengangguk, kemudian menunjuk ke salah satu coretan tinta di beberapa titik, "Di beberapa lokasi ini, adalah tempat yang disinggahi oleh keturunan tertentu yang tidak ada di sini."

"Kalau begitu, berarti …."

Reiza hanya memberi senyum sembari menoleh Evance yang masih tak sadarkan diri. Butuh beberapa detik bagi Chieva agar bisa memahami ayahnya.

Jamais TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang