Tangis dan Tanggung Jawab

23 0 0
                                    

"Apa? Apa yang ada di sana?"

Evance memandang Chieva seraya berkedip beberapa kali, lalu kembali memandang layar ponsel, "Aku tidak yakin kau ingin mengetahuinya."

"Intinya, dia tahu apa yang kulakukan saat tiga hari yang lalu," lanjutnya lagi sambil menaruh ponsel di tas.

"… Jangan bilang kalau—"

"Maaf … aku terlalu ceroboh."

Selain sebagai pendatang baru dimensi tersebut, kini Evance telah menjadi pembawa masalah yang berefek fatal bagi tempat kasat mata itu. Mungkin juga, penghuninya akan dapat masalah pula.

Lutut gadis berambut magenta itu terjatuh ke rerumputan, tubuhnya lunglai layak tak bertenaga. Dari semua itu, matanya yang kosong tampak lebih mengkhatirkan.

"Haaahhh …," gerutu Chieva dengan tangan kiri menepuk dahi, "Aku sudah cerita tentang bagaimana perang itu bisa terjadi, atau belum?"

Kepala lelaki itu menggeleng, seraya menunduk sedikit. Entah Evance tidak ingin melihat mimik lawan bicaranya, atau tak ingin Chieva tahu apa yang dia rasakan.

Chieva menggerak-gerakan kakinya, membentuk posisi duduk sila. Tak ada perubahan ekspresi, kelihatannya gadis itu tidak begitu peduli dengan apa yang terlihat apabila duduk seperti itu.

"Ini terjadi sekitar kurang lebih 10 tahun yang lalu, dan saat itu banyak dari kami yang menjalani hidup seperti manusia pada umumnya di dimensi in——"

"Bukankah akan terlihat mencolok kalau hidup seperti itu?" Wajah Evance langsung mendongak, menampakkan mata merah serta bibirnya yang sedikit bergetar.

"Aku belum selesai!"

"Err … maaf," ucapnya sembari menggosok-gosok bibir pucatnya dengan telunjuk, meyakinkan Chieva bahwa dia bisa tutup mulut.

Tarikan napas dari hidung terdengar jelas, kemudian keluar dari mulut Sang Gadis. Hanya menunjukkan pernapasan diafragma, sudah tertebak bahwa Chieva akan bercerita panjang.

"Beberapa yang memiliki fisik abnormal hidup di sekitar tempat angker, jauh dari keramaian, maupun tak berpenghuni. Bahkan, terkadang mereka sering disebut sebagai karakter urban legend karena tidak mirip manusia.

"Untuk yang mirip layaknya manusia seperti aku dan kamu, banyak yang hidup berdampingan bersama manusia sambil menyembunyikan identitas masing-masing.

"Perbedaan kehidupan ini pernah menjadi suatu pertentangan pendapat, karena resiko keberadaan kami bisa semakin terkuak. Pada akhirnya, yang abnormal dengan yang normal memilih untuk memisahkan diri.

"Lalu, sebuah kejadian tidak terduga terja——"

Ucapan Chieva terpotong karena bunyi semak-semak yang ditimbulkan kaki lawan bicaranya, berselonjor ke depan seraya mengubah posisi duduk bersandarkan tasnya.

"Sabar!" Mulutnya tersenyum sebelah, dengan mata di atas senyumannya mengernyit beberapa kali.

Evance hanya memberikan senyum getir, walaupun dia melakukan itu karena lelah berdiam dengan posisi yang sama. Menyadari sifat lawan bicaranya berkata lantang tidak biasanya, dia memilih untuk diam.

Beberapa menit berlalu, akhirnya suara napas dari mulut salah satu kedua orang itu perlahan muncul, "Kejadian itu sebenarnya hanya kecelakaan tabrak lari. Ya … akan tetapi korbannya merupakan salah satu dari keturunan kami.

"Tak ada yang tahu secara pasti apa keturunannya, tetapi nyawanya yang sekarat mengundang malaikat maut dari keturunan lain untuk melaksanakan tugas mereka.

"Detik hingga menit berlalu, tidak ada satupun dari para malaikat yang ingin mencabutnya karena tidak ingin semua rahasia itu terungkap. Karena pemikiran itu, ia terus mengerang kesakitan menahan rasa nyeri.

"HINGGA SUATU KETIKA!!!" Teriakkan itu cukup membuat tubuh Evance sedikit tergoncang, hingga matanya terbelalak karena terkejut.

Tempo suara Chieva tampak seperti menceritakan sebuah klimaks dalam cerita yang telah menemui resolusinya. Gadis tersebut tampak bangga berhasil membuat Evance menarik perhatian dari lamunannya.

"Seorang malaikat maut, datang menghampirinya dengan tatapan iba. Tanpa basa-basi langsung menancapkan pisau yang digunakan sebagai wadah untuk menampung jiwa-jiwa sekarat.

"Anehnya, malaikat itu menangis seolah dia merasa bersalah telah melakukan hal terlarang itu. Kemudian——"

"Hentikan, Chieva."

Amarahnya seperti memuncak, dengan kedua tangan terkepal erat ——siap meninju Sang Lawan Bicara. Tidak disangka, Evance terlihat serius seakan-akan ucapannya bukan sebuah candaan.

"Kau tidak ingin menceritakan bagian itu, kan?" Nada ramah lelaki itu, membiarkan setetes air mata mengalir di masing-masing mata Sang Gadis.

Hening panjang menandakan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa, "Darimana kau bisa——"

"Dadaku sakit lagi," potongnya lagi sambil menyipitkan mata yang sesekali meringis, "Lagipula, mengapa kau mulai begitu emosional hari ini?"

Kali ini, mulut Chieva lah yang bergetar hebat. Tak lama, gadis itu menutup mulut dengan telapak tangan kanan ——seolah keceplosan terlalu banyak.

"Jangan dipaksa bila memang tidak ingin menceritakannya … entah bagaimana … aku bisa tahu kalau kau sedang menangis dalam hati."

Suasana muram itu pecah seketika saat sebuah suara berdurasi singkat muncul dari tas Evance. Dengan cekatan, lelaki itu mengambil ponselnya kembali.

Seolah melupakan hal yang sedang dibicarakan, Chieva menghampiri lelaki itu untuk mengetahui apa yang baru saja terjadi dengan benda itu.

Sebuah notifikasi muncul di layar bagian atas, pesan yang berasal dari Farrell. Tanpa berpikir panjang, lelaki itu langsung mengetuk kotak pemberitahuan tersebut.

Tak ada tulisan apapun, membuat Chieva terheran-heran, "Temanmu itu mengirim apa, sih?"

"Hanya rekaman … kelihatannya tak ada yang lain," ujarnya pelan.

Evance pun memutarkan berkas itu bersamaan dengan membesarkan volume suara. Belasan detik berlalu, namun hanya noise yang terdengar seolah seperti sedang mendengarkan radio.

Hingga detik dua puluh lebih, suara gesekan antara benda tumpul dengan tanah mengusik noise itu. Suara itu tidaklah hanya satu.

Rekaman berakhir seraya menunjukkan sekitar tiga suara gesekan yang berbeda muncul, serta terdengar sangat acak temponya.

Gesekan pertama terdengar agak jauh, kemudian yang kedua tampak seperti bukan benda tumpul. Terakhir, bunyi gesekan itu sangat dekat dan jelas layaknya ponsel Farrell yang menyebabkan bunyinya.

Tak ada satupun yang berkomentar, karena sama-sama kebingungan. Bahkan keberadaan Farrell di ponsel Evance sudah tidak aktif setelah mengirim rekaman yang tak jelas maksudnya.

"Apa lagi sekarang?" Kekecewaan menyelimuti Chieva, merasa tidak ada gunanya mendekatkan diri hanya untuk mendengarkan bunyi-bunyi aneh.

Evance tidak menjawab, dia hanya membangunkan tubuh untuk beralih ke posisi berdiri. Wajahnya yang masih pucat kekurangan darah itu membuatnya harus bertumpu pada sebuah pohon.

Tanpa ragu-ragu, Chieva menyambar kerah belakang seragam Evance begitu kuat ——namun ditangkis oleh lelaki itu. Pakaiannya yang penuh noda darah serta robekan itu nampak mengerikan seiring dengan pandangan mata Evance yang begitu dalam.

"Berhenti!"

Diabaikan, lelaki itu terus berjalan meski sedikit tertatih-tertatih karena harus bertumpu setelah beberapa kali melangkah. Matanya tetap terfokus pada tempat di mana Farrell berada.

Ambisi Evance yang sangat kuat mulai rubuh saat beberapa kalimat terlontar dari mulut Chieva.

"Mengapa … kau tetap ingin ke sana? Mereka bahkan sudah memperlakukanmu seperti itu."

Kali ini, lelaki itu menoleh dengan memberikan senyum pahit serta mata sayu, "Aku hanya menjalankan tanggung jawabku."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jamais TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang