“Maafkan aku tapi aku harus pergi, kamu tidak akan pernah bahagia kalau terus bersamaku,” ucapnya untuk yang terakhir kali, ia meninggalkanku saat usia kandungan yang sudah memasuki bulan kesembilan, ia tega, sangat tega, entah apa yang membuatnya tega meninggalkanku.
Malamnya aku harus melahirkan tanpa kehadirannya, sebelumnya ia terus-menerus berjanji akan menemaniku saat persalinan tapi apa buktinya? Ia meninggalkanku sebelum buah hati hasil pernikahanku dengannya lahir.
Usaha yang diwarisi kakeknya mengalami kebangkrutan tidak lama setelah ia diberikan kesempatan untuk mengurusnya, apa mungkin karena itu? Tidak. Kurasa bukan hanya itu penyebabnya. Pasti ada hal lain lagi yang menyebabkan pergi meninggalkanku.
Waktu berjalan begitu cepat sampai saat ini ia tidak juga kembali, lebih dari sepuluh tahun aku mengurus Jio seorang diri, berperan sebagai ibu sekaligus ayah baginya. Berat memang tapi apa boleh buat inilah yang sudah tuhan takdirkan pada diriku, aku harus menerimanya dengan lapang dada, toh pasti akan ada saat bahagia walaupun aku tidak tau kapan datangnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari aku sudah tidak bingung lagi karena salah seorang sahabatku dengan baik hati memercayakan diriku untuk mengurus salah satu cabang kafenya. Tadinya aku tinggal di pedesaan bersama orang tuaku tapi setelah diberikan amanat menjaga kafe milik sahabatku aku harus pindah ke kota, aku harap aku bisa bertemu dengannya lagi walaupun itu terdengar mustahil tapi aku tidak pernah meninggalkan doa agar aku bisa bertemu dengannya lagi, memertemukan Jio dengan ayahnya.
Cring...
“Selamat datang,” ucapku tanpa menoleh dari buku yang sedang kubaca.
“Ibu.” Bukan suara pelanggan yang ingin memesan menu tapi justru suara Jio, membuatku meninggalkan kegiatanku dan menghampirinya yang berdiri di ambang pintu dengan wajah sembapnya.
“Apa yang terjadi?” tanyaku sambil menuntunnya untuk duduk di salah satu kursi.
“Aku tidak salah ibu huaaaaa...” ucapnya membuatku semakin bingung, aku menenangkan dan mengambil segelas air putih untuknya.
“Minum dulu lalu ceritakan apa yang terjadi pada ibu.” Ia menerima air yang aku bawakan dan meminumnya sampai tidak tersisa, oh ya tuhan apa yang terjadi pada anakku?
“Ibu...”
“Hm?”
“Apa salah kalau aku tidak punya ayah?”
DEG...
Pertanyaan itu, hatiku seperti tertusuk oleh ribuan jarum. Sakit.
“K-kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Teman-temanku bilang aku lemah karena aku tidak punya ayah.” Lagi-lagi hatiku sakit mendengarnya, tenggorokanku rasanya tercekat, lidahku kelu, apa yang harus aku lakukan ya tuhan?
“Tidak, kamu...” Aku tidak bisa meneruskan kalimatku karena tenggorokaaku benar-benar tercekat sekarang, air mataku tidak tertahan lagi. Jio menangis lagi di pelukanku.
“Pertemukan aku dengan ayah, bu. Ibu bilang kalau ayah masih ada, kan?”
Ibu sebenarnya ingin tapi ibu tidak tau bagaimana caranya. Maafkan ibu, Jio. Maafkan ibu.
Menyedihkan, Jio bahkan tidak tau wajah ayahnya. Ya, aku memang sengaja tidak memberitahukannya karena kalau aku memberitahukannya ia pasti akan kukuh untuk mencarinya, tidak akan ada yang tau kalau ia benar-benar menemukan ayahnya.
*
*
*
*
*“Ayo, bagaimana bisa jadi pilot kalau kamu tidak mau sekolah?” Sekarang aku sedang membujuk Jio yang tidak mau pergi ke sekolah, ia tidak ingin mendengar ledekan-ledekan yang dilontarkan teman-temannya.
“Kalau kamu sekolah yang rajin kamu pasti bisa jadi pilot, kamu bisa ajak ibu dan ayah jalan-jalan keliling dunia."
“Aku bahkan belum pernah bertemu dengan ayah, pokoknya aku tidak mau sekolah.”
“JIO! Mau ke mana, Jio?!”
BRAK...
Ia pergi sambil membanting pintu kamarnya. Aku menjatuhkan diriku ke lantai, kakiku terasa sangat lemas. Kenapa berat sekali cobaan dalam hidupku? Kapan semua ini akan berakhir? Aku takut kesabaranku habis.
*
*
*
*
*Suara decitan dari rantai ayunan berbunyi sangat nyaring, di taman yang sepi hanya ada Jio dan seseorang yang tidak kenal yang duduk di atas ayunan, mereka menggoyangkan pelan ayunan yang didudukinya.
“Kenapa kamu tidak mau sekolah?”
“Teman-temanku menyebalkan, mereka meledekku, bilang aku lemah karena aku tidak punya ayah,” jawab Jio dengan pandangan tetap lurus ke depan. Seseorang tidak dikenal itu hanya tersenyum menanggapi jawaban Jio. Ia memandang wajah Jio dari samping, bukan pandangan biasa tapi pandangan yang diarahkan ke Jio terkesan aneh, seperti ada sesuatu yang ingin ia ketahui.
“Kenapa tante memandangku seperti itu?” tanya Jio saat ia sadar dirinya sedang dipandang oleh orang di sampingnya.
“Ahh, tidak apa-apa.” Jio hanya ber-oh ria, ia lalu memfokuskan lagi pandangannya ke depan.
“Oh ya, apa kau tau kafe ini?” tanya seseorang itu pada Jio sambil menunjukkan sebuah foto.
“Itu kafe ibuku. Aku bisa menunjukkan kalau tante ingin ke sana.”
“Ahh, kamu anak yang sangat baik. Tapi tante mau kau berjanji setelah mengantar tante ke sana kau harus pergi ke sekolah.”
“Baiklah aku janji.” Jio mengawal perjalanan, seseorang itu mengikuti Jio dari belakang. Senyum misterius terlukis di bibir merahnya.
*
*
*
*
*Sudah lebih dari lima jam perempuan itu duduk di dalam kafe sambil menikmati espresso yang sudah ia pesan ketiga kalinya, seseorang yang menemui Jio tadi pagi.
Tidak jarang pengunjung lain memandangnya aneh mungkin karena pakaian serba hitam yang dikenakannya, terkesan seperti malaikat pencabut nyawa. Ia sibuk mengedarkan pandangannya mengamati arsitektur kafe ini yang didominasi warna coklat, ia juga membaca buku yang memang disediakan di setiap meja.
Tepat enam jam perempuan itu beranjak dari duduknya, ia menghampiri kasir tempat Byurin pemilik kafe berada. Ia tersenyum ke arah Byurin yang dibalas senyum kikuk olehnya. Byurin sebenarnya sedikit takut melihat orang di hadapannya tersebut, ia sudah membayar menu yang dipesannya tadi apa ia ingin memesan lagi? Tanya Byurin dalam hati.
“A-apa Anda ingin me-“
“Tidak, aku akan pergi sekarang, aku ingin menyampaikan salam untuk Jio, aku harap kau menyampaikannya, terima kasih. Oh ya, espressonya sangat enak, mungkin lain kali aku akan kembali lagi ke sini.”
“Saya akan sampaikan, terima kasih kembali.”
Orang itu benar-benar pergi meninggalkan kafe menyisakan aroma parfumnya yang sangat menyengat, Byurin yakin parfum yang ia pakai adalah parfum yang sangat mahal.
TO BE CONTINUED.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SEVENTEEN FANFICTION] The Day We Felt the Distance - Complete
FanfictionWhere did you go? Did you go far away because you didn't like me anymore? ©octorinav_ / 2017