ABUSE - EXTRA 2 [LAST]

1.3K 144 14
                                    

Aku merebahkan tubuhku di samping Vernon yang sedang membaca buku setelah menemani Jio sampai terlelap. Mataku memandang wajah Vernon dari samping, sempurna. Setelah dua belas tahun lamanya akhirnya aku melakukan hal ini juga. Aku begitu merindukan wajahnya, tidak ada yang berubah, wajahnya masih sama seperti dulu.

Tanganku tergerak dan berhasil menyentuh pipi lembutnya, ia terlonjak saat merasakan sentuhan tanganku di pipinya, ia mengalihkan pandangannya ke arahku, tanpa sadar air mata menetes dari ujung mataku.

Ah, aku menangis.

Dengan cepat aku menghapus tetesan air mata tadi dan merubah posisiku menjadi duduk.

"Kenapa?" tanya Vernon, kedua telapak tangannya menangkup wajahku.

"Tidak apa," jawabku seraya tersenyum, membuatnya ikut tersenyum juga.

"Maafkan aku, Rin. Kau benci padaku?" tanyanya, berhasil membuat alisku berkerut. Dapat darimana pertanyaan seperti itu?

"Pertanyaan konyol. Mana mungkin aku membencimu? Aku tidak akan pernah membencimu sekalipun kau menyakitiku seperti yang lalu. Karena aku sadar..."

"Karena aku sadar?"

"Masih ada yang lebih membutuhkan dirimu dibandingkan diriku. Jio." Kepala Vernon bergerak maju dan akhirnya mendaratkan kecupan di puncak kepalaku.

"Terima kasih, entah apa yang harus aku lakukan demi membalas kebaikan dan kesabaranmu selama ini."

"Jadilah ayah yang terbaik untuk Jio, itu sudah lebih dari cukup bagiku. Dia sangat menyayangi dirimu."

"Tidurlah, besok kau harus bangun pagi dan menyiapkan kebutuhanku dan Jio."

"Ey! Tanpa disuruh pun aku sudah bangun lebih pagi daripada kalian."

Cup!

"Ya! Kau mencuri tuan Choi!"

Vernon mendekapku setelah berhasil mencium kilat bibirku. Ah, menyebalkan. Aku membenamkan wajah di dada bidangnya, dan terlelap dengan posisi berpelukan.

*
*
*
*
*

Aku menutup tas Jio setelah memasukkan kotak bekal ke dalamnya, Vernon sudah siap, hari ini adalah hari pertamanya mulai bekerja lagi, ia akan merintis lagi dari awal salah satu cabang perusahaan milik ayahnya.

"Nah, sekarang berangkat sana, nanti kalian telat."

"Ibu aku berangkat."

"Hati-hati."

"Aku berangkat ya, doakan aku, aku janji aku tidak akan mengambil langkah yang salah lagi kali ini, aku ingin membuatmu dan Jio bahagia."

"Aku selalu mendoakanmu, Ver." Ia mendaratkan kecupan di puncak kepalaku, aku rasa itu akan jadi kebiasaannya setiap pagi dan menjelang tidur. Menyenangkan sekali.

"Oh ya, mungkin aku akan memindahkan Jio ke sekolah lain setelah mendengar ceritamu tadi tentang Jio yang selalu dibully dan karena ada satu hal lagi yang belum aku ceritakan padamu."

"Ceritakan nanti saja setelah kau pulang bekerja, sekarang berangkatlah, kasihan Jio sudah menunggu." Aku melirik ke arah Jio yang sudah menunggu Vernon sedaritadi. Vernon berjalan mendekati Jio lalu memakaikannya helm, setelahnya mereka bersiap untuk berangkat dengan menggunakan motor Vernon yang selama ia pergi tidak lagi dipakai, beruntung setelah diperiksa kemarin motor itu masih bisa digunakan.

"Are you ready kid?"

"Aye aye captain!"

"Hati-hati, jangan mengebut!"

"YA!"

Setelah memastikan Vernon dan Jio berangkat aku segera bersiap untuk pergi ke kafe, ahh, aku kesiangan datang ke sana, semoga pelanggan tidak kecewa.

*
*
*
*
*

Makan malam sudah selesai, sekarang aku dan Vernon sedang duduk di teras rumah sementara Jio belajar di kamarnya. Hening, hanya suara gemerisik daun yang tertiup angin. Sejak sepuluh menit yang lalu tidak ada yang membuka suara, walaupun sudah hampir sebulan Vernon kembali tapi masih terasa aneh bagiku, kadang kita bersikap biasa kadang juga seperti ini, canggung.

"Aku akan menceritakannya," ucap Vernon pada akhirnya, membuatku menatap ke arahnya.

"Apa?" tanyaku.

"Aish, masalah tadi pagi, aku bilang aku akan memindahkan Jio ke sekolah lain, aku belum memberitahukan alasannya padamu, kan?"

"Oh itu, baiklah."

"Olivia, em... Maksudku anak Nancy bersekolah di sana." Aku terdiam mencerna kata-kata dari kalimat yang diucapkan Vernon. Siapa tadi? Nancy? Haruskah dia menyebut namanya perempuan itu?

"Aku tidak mau kalau salah satu di antara kita bertemu lagi dengannya atau anaknya sekali pun."

"Kurasa kita harus menanyakan hal itu pada Jio karena sekolah itu adalah pilihannya."

"Tidak perlu ayah," sahut sebuah suara. Jio, ia sudah berdiri di ambang pintu.

"Maksudmu?" Jio berjalan ke arah kami berdua, ia duduk di pangkuanku dan menatap ke arah Vernon.

"Aku sudah tidak lagi dibully dan Olive, dia berpamitan padaku tadi saat pulang sekolah. Dia pindah ke Amerika."

"Kau..."

"Aku dekat dengannya karena waktu itu ia sempat ingin meminjam ponselku untuk menelpon ayah. Ayah ingat? Hari itu ayah hampir saja menabrak anak laki-laki dan ayah menyuruhnya untuk hati-hati?"

"Itu kau?" Jio mengangguk.

"Maka itu terkejut saat ayah bilang kalau Olive itu..."

"Tidak lagi, anak ayah sekarang hanya kamu, Jio."

"Jadi, jangan pindahkan aku ke sekolah lain ya ayah, aku tidak mau pisah dengan teman-temanku."

Vernon melirik ke arahku, aku mengangguk memberi kode untuk Vernon mengiyakan permintaan Jio.

"Baiklah, ayah tidak akan memindahkanmu ke sekolah lain."

"YEAY!" Seru jio senang.

"Sekarang waktunya tidur, ibu tidak mau besok kamu kesiangan."

"Baik, bu. Selamat malam ayah, ibu," ucap Jio lalu pergi kembali ke kamarnya, meninggalkanku dan Vernon yang lagi-lagi diselimuti keheningan.

"Em, Rin."

"Apa?"

"Kurasa ini tidak buruk."

"Ide apa?" tanyaku, Vernon menyeringai, membuatku bergidik ngeri, apa maksudnya?

"Kasihan Jio, dia kesepian, kurasa memberikannya adik bukan ide yang buruk."

"What?!" Terkejut? Tentu saja.

"Lakukan saja dengan gulingmu!" seruku lalu pergi masuk ke rumah.

"Kalau guling sejatiku itu kau, bagaimana?" tanya Vernon, tiba-tiba orang ini sudah ada di sampingku, membuatku terkejut.

"Tidak."

"Ayolah."

"Jangan coba-coba menggodaku."

"Kau tidak boleh menolak," bisiknya sambil memeluk dari belakang.

"VERNON CHOI!"








THE END.

[SEVENTEEN FANFICTION] The Day We Felt the Distance - CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang