—1—
AKU percaya pada mimpi?
Aku tidak pernah percaya pada mimpi hampir di sepanjang hidupku. Tapi sejak usiaku menginjak lima belas tahun, aku ingin percaya.
Aku ingin mimpi itu nyata.
Aku ingin apa yang kuimpikan sepanjang malam itu menjadi kenyataan.
---
AKU ingat setiap detail kejadian di hari yang sangat menyedihkan bagiku bulan Maret lalu. Sejak hari itu aku tahu dan aku menganggap diriku adalah biang masalah dalam keluargaku. Akulah yang menyebabkan keluargaku hancur.
Ayahku, Thomas. Ia memilih pergi meninggalkan kami. Meninggalkan aku dan saudara laki-lakiku, Sean. Ayah bilang pada kami bahwa dia sudah lelah dengan kami. Dia tak mau bersusah payah lagi untuk menghidupi dua anaknya yang ia pikir tidak berguna ini.
Kemudian ayahku pergi. Meninggalkan dua anak tanpa seorang ibu. Ibuku sudah meninggal, dan aku tak pernah ingat bagaimana wajah cantiknya yang asli, kecuali melalui fotonya yang dipajang di dinding.
Sebelumnya, aku tidak pernah tahu dan tidak diberitahu kenapa ibuku meninggal. Tapi sejak kepergian ayahku hari itu, aku jadi tahu sekarang. Sean dengan sangat marahnya bilang padaku, "Lihat kan? Semuanya pergi gara-gara kau!"
Tentu saja aku tak mengerti apa maksudnya. Dengan terbata-bata aku bertanya padanya, "A-apa m-maksudmu? Aku salah apa?"
Sean membentakku, "Dasar adik tidak berguna! Kau biang masalah! Bahkan kau tak tahu kenapa ibumu sendiri meninggal, hah?!"
"M-maaf jika aku salah. Tapi, sumpah aku tidak tahu. Jadi, tolong beritahu aku, Sean." Kedua bola mataku berkaca-kaca, dan Sean melihatnya.
Ketika Sean melihatku, aku juga melihat kedua bola matanya berkaca-kaca. Aku jadi semakin tidak mengerti. Kemudian, Sean kembali berkata, "Ibu meninggal gara-gara kau, Elena! Gara-gara dia melahirkanmu!"
---
SUATU pagi aku terbangun seperti biasa di atas tempat tidurku. Aku mengambil cermin rias kecil untuk melihat wajahku—yang kutahu, semalaman aku menangis tanpa henti yang mungkin membuat wajahku menjadi sangat mengerikan sekarang. Benar saja, ketika kuhadapkan cermin rias pada wajahku, terdapat lingkaran hitam di pinggiran mataku. Aku meringis sendiri melihatnya.
Aku segera beranjak ke wastafel untuk mencuci muka. Ketika aku sampai di depan cermin besar yang dipasang di tembok dekat wastafel, aku melihat seseorang di dalam cermin itu. Di belakangku, di meja makan, aku melihat seorang wanita cantik. Aku merasa seperti mengenal wanita itu sebelumnya. Kuperhatikan gerak-geriknya melalui cermin, wanita itu sedang menyiapkan makanan di atas meja. Kusadari wanita itu menoleh padaku. Kami bertatapan melalui cermin. Aku terbelalak, tak percaya dengan siapa yang kulihat. Kukucek kedua kelopak mataku, mengerjap-erjapkannya.
Aku benar-benar melihatnya. Dia sungguh nyata.
Lantas aku segera berbalik badan dan menuju ke arah wanita itu berdiri. Secepat kilat aku memeluknya erat. Mendekap tubuh wanita itu. Aku bisa merasakan tangannya membelai rambut panjangku. Aku menangis dalam dekapannya, tersenyum bahagia. Ternyata aku bisa melihat ibuku lagi. Rupanya kejadian kemarin itu hanyalah mimpi. Kejadian dimana ibu dan ayah pergi yang membuat Sean marah padaku, itu semua hanyalah mimpi.
Aku senang aku masih bisa bersama keluargaku lagi. Pasalnya, ayah datang dari luar—sepertinya dari kebun—lalu duduk di meja makan, hendak sarapan. Aku juga melihat Sean keluar dari kamarnya yang kemudian duduk di meja makan untuk melakukan hal yang sama dengan ayah. Semuanya terlihat baik-baik saja. Aku senang semuanya kembali seperti semula. Mimpi buruk itu rupanya sirna.
Malam harinya aku kembali tidur di kamar, seperti biasa. Aku sangat bersyukur, kemarin itu cuma mimpi. Untunglah ayah dan ibu tidak pergi dan Sean tidak marah padaku. Aku sungguh senang.
---

KAMU SEDANG MEMBACA
2# A Girl with her Dreams
Historia CortaKau percaya pada mimpi? Aku tidak pernah percaya pada mimpi hampir di sepanjang hidupku. Tapi sejak usiaku menginjak lima belas tahun, aku ingin percaya. Aku ingin mimpi itu nyata. Aku ingin apa yang kuimpikan sepanjang malam itu menjadi kenyataan...