02. Past

36.2K 6.4K 673
                                    

Gue udah berjanji sama diri gue sendiri untuk menamparnya saat kami tidak sengaja bertemu. Namun kini disaat sosoknya terlihat begitu nyata tubuh gue terasa kaku. Bahkan lidah gue terasa kelu hanya untuk sekedar membalas sapaannya. Dada gue bergemuruh, gue nggak bisa mendeskripsikan perasaan yang berkecamuk di benak gue.

"Kita baik kok Lay," jawab Iim dengan sedikit canggung.

Sosoknya benar-benar tidak berubah, hanya gurat kedewasaan dan aura mengintimidasi yang ada pada dirinya kini terasa begitu kuat.

Perlahan gue pun melangkahkan kaki gue untuk mundur dan mengambil tas milik gue, disaat yang bersamaan pula Lay melangkahkan tubuhnya semakin mendekat ke arah gue, dan ia menahan tangan gue yang ingin meraih tas yang tergeletak di kursi.

"Bisa kita ngobrol sebentar?" tanyanya sambil menoleh ke arah Iim dan Joana yang kini melihat gue dengan pandangan khawatir.

Bertanya pada orang lain? Tch. Pengecut. Dia tau kalau dia bertanya ke gue jelas gue akan menjawabnya dengan kata tidak.

Tanpa basa basi ia mendudukan dirinya di kursi tempat kami mengobrol tadi, dan menarik tangan gue untuk duduk di sampingnya.

Gue ingin marah dan memaki, tapi rasa yang menyesakkan dada ini terlalu mendominasi.

Joana, Kris, iim dan Kai kembali menempati tempat mereka dan menatap kami berdua dengan pandangan penuh antisipasi.

"Gimana kabar lo Lay?" tanya Joana mencoba untuk berbasa-basi.

"Seperti yang lo liat," jawab Lay santai namun lugas.

"Gimana rasanya jadi orang terkenal, dokter?" tanya Joana sedikit sarkasme di akhir kalimat.

Gelar yang ada di namanya saat ini merupakan akar permasalahan yang terjadi tujuh tahun yang lalu. Permasalahan yang membuat gue membencinya dan mengharamkan orang-orang sekitar gue untuk menyebutkan namanya.

Gue dan Lay sangat dekat, lebih dekat dari hubungan seorang teman biasa karena tidak ada teman yang meniduri temannya. Tetapi kami juga tidak menjalin hubungan pacaran.

Lay akan selalu untuk gue dan gue akan sangat bergantung sama dia. Dia selalu memotivasi gue untuk meraih cita-cita gue meraih gelar dokter dengan selalu menemani gue belajar di perpustakaan sekolah. Dengan keadaan ekonomi keluarga gue yang nggak terlalu bagus, satu-satunya cara untuk meraih impiam gue adalah dengan mengikuti program beasiswa yang di tawarkan oleh pihak sekolah.

Lay selalu bersikap seperti biasa saat di samping gue tanpa menunjukan keanehan apa pun, sampai suatu hari gue menemukan nama dia di papan pengumuman sekolah sebagai penerima beasiswa studi kedokteran yang gue inginkan yang di tawarkan oleh pihak sekolah.

Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai keikutsertaannya di program beasiswa itu, setelah hasil itu di umumkan dia menghilang tanpa jejak, tanpa kabar dan penjelasan sedikit pun. Meninggalkan gue yang penuh dengan kekecewaan karena hanya satu orang lah yang terpilih untuk mendapatkan beasiswa itu.

Tiga tahun kemudian di saat gue menyelesaikan studi gue di salah satu sekolah perawat yang untungnya menerima gue dengan program beasiswa penuh, gue mulai melihat wajah Lay menghiasi majalah yang di jual di minimarket dan pinggir jalan. Dan lama kelamaan wajahnya mulai menghiasi iklan di layar televisi dan video klip musik yang sedang hits.

Gue nggak tau apa dia menyelesaikan pendidikan yang gue impi-impikan atau enggak, yang jelas gue merasa begitu kecewa.  Dia udah mengambil segala yang gue punya dan impian yang gue inginkan, tetapi dia terkesan menyia-nyiakan hal itu dengan beralih profesi di tengah jalan. Mengingat hal itu membuat gue merasa frustasi.

Tragically Beautiful [Animal]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang