Setelah mendengar perkataan menusuk yang gue lontarkan, Lay hanya pergi keluar dari dalam kamar mandi, meninggalkan gue sendirian dengan perasaan marah dan juga terluka.
Gue masih terus terisak di dalam kamar mandi sampai mendengar suara kamar mandi terbuka, dan Lay menaruh satu setel pakaian yang bisa gue gunakan dekat wastafel. Setelahnya dia kembali pergi keluar tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Setelah menenangkan diri dan berpikir realistis jika menangisi keadaan yang ada hanya akan membuat gue terlihat lemah di depan cowok brengsek bernama Lay, gue memutuskan untuk keluar dari dalam bathtube dan memakai pakaian yang sudah dia sediakan.
Lay hanya duduk di tepian ranjang, sementara di meja nakas ada air dan juga aspirin yang sebelumnya tidak ada di sana. Karena kepala gue masih terasa sakit, gue pun memilih untuk meminum pil tersebut.
Setelahnya gue membereskan pakaian gue yang tercecer di lantai dan juga mengambil tas gue sebelum beranjak ke arah pintu bermaksud untuk pergi. Tetapi Lay menjegal langkah gue lebih jauh dengan cengkraman tangannya yang begitu kuat di lengan gue.
"Mau kemana?" tanyanya dengan dingin.
Mau kemana? Rasanya gue ingin tertawa mendengar pertanyaannya.
"Yang jelas keluar dari sini," desis gue tajem.
Lay menarik tangan gue dengan sedikit kasar sehingga tubuh gue terhuyung dan terduduk di pinggiran ranjang.
Gue berdecak pelan sebelum menatapnya dengan tatapan menantang. "Apa mau lo sialan?!" teriak gue penuh amarah.
"Gue belum selesai, kita harus ngomong," kata Lay sambil memegang kedua bahu yang membuat gue mendengus.
"Nggak ada yang harus diomongin, gue harus pulang sekarang," ucap gue dingin sambil melepaskan pegangan tangannya pada bahu gue.
Gue memilih untuk pergi ke arah pintu keluar, dan Lay selangkah lebih cepat untuk menutup satu-satunya akses keluar dari dalam ruangan itu. "Urusan kita belum selesai," desis Lay tajam. Matanya menatap gue dengan pandangan kesal.
"Tinggal lempar uang lo ke gue dan urusan kita selesai!" ucap gue gak kalah tajam.
"Lo bukan pelacur!" bentak Lay dengan murka.
"Tetapi lo memperlakukan gue seperti itu!" balas gue dengan berteriak.
Entah mengapa gue merasa lemah ketika berhadapan dengan dia. Dinding pertahanan yang gue bangun selama bertahun-tahun seolah lenyap tak berbekas dalam satu malam. Gue nggak bisa menampik kalau jauh di dalam lubuk hati gue, gue masih mendambakannya.
Air mata gue turun tanpa bisa gue cegah, dengan terisak gue pun memohon kepada Lay.
"Tolong lepasin gue, kita udah berakhir tanpa memulai apapun..."
Tubuh Lay yang pada awalnya tegap menghalau gue kini perlahan sedikit melonggarkan pertahanannya. Hal itu membuat gue menggunakan kesempatan itu untuk keluar dari dalam ruangan tersebut.
Cukup. Gue gak mau tersakiti lagi...
******
Gue sampai rumah kontrakan gue disaat matahari sudah meninggi. Jam di ruang tengah menunjukan pukul setengah sebelas siang, dan adik gue keluar dari kamarnya dengan wajah juteknya.
"Mbak kemana aja semalem? Mas Changmin juga nyariin Mbak," interogasi Jeno ke gue yang gue jawab dengan senyuman selembut mungkin.
"Mbak nginep di tempat temen Mbak karena kemaleman."
"Kenapa nggak ngabarin?" tanya Jeno dengan nada kesal yang cukup kentara.
Kalau Rara punya dua satpam yaitu Abang Suho dan Papihnya. Gue punya Jeno dan juga Changmin yang selalu bertingkah posesif sama gue.
"Mbak lupa nge-charge, udah nanya-nanyanya?" jawab gue ogah-ogahan.
"Mbak berhenti keluar malem, kenapa mba nggak nikah aja sih sama Mas Changmin?" tanya Jeno yang membuat gue mengulum senyum getir.
"Tau apa kamu soal pernikahan?" timpal gue dengan dengusan geli dan mengusak rambut adik gue yang kini bahkan sudah jauh lebih tinggi dari gue.
"Jeno nggak usah pusing sama urusan Mbak, Jeno cuma perlu belajar dan bikin Mbak bangga, oke?" ucap gue menasihati sambil beranjak pergi meninggalkan Jeno yang masih terpaku di ruang tengah.
"Jeno akan buat semua uang yang Mbak hasilkan dari kerja keras Mbak nggak sia-sia, tapi tolong perhatiin kondisi Mbak juga."
Kata-kata Jeno menghentikan langkah kaki gue lebih jauh. Adik kecil gue kini telah tumbuh besar menjadi seorang laki-laki yang bisa melindungi kakaknya.
"Jen? Gimana Mbak kamu sudah pulang?" tanya sebuah suara yang membuat gue mengalihkan atensi gue ke arah pintu.
Di sana pacar gue kini tengah berdiri dengan seragam khas profesinya.
Melihat dari seragam yang dikenakannya, gue yakin pacar gue bahkan belum sempat pulang ke rumahnya dan langsung menuju ke sini.Tanpa banyak basa-basi Changmin menghampiri dan memeluk gue. "Lain kali jangan ngilang tanpa kabar, kamu gatau apa aku sama Jeno kepusingan nyari kamu semaleman?"
Changmin sudah berkorban banyak untuk gue dan juga Jeno yang membuat gue terkadang merasa berhutang budi sama dia meski dia pacar gue sendiri.
Changmin orang yang bisa memberi gue kenyamanan dan kehangatan, tapi kenapa hati gue masih terpaut dengan bajingan brengsek bernama Lay?