Malam mulai menjelang dan gemerlap Ibu Kota mulai menunjukan keeksitensiannya. Semakin larut, semakin ramai pula orang-orang yang datang ke dalam sebuah club ataupun bar hanya untuk melepaskan rasa penat dan lelah mereka setelah selesai bekerja di bawah tekanan.
Terkadang mereka melakukan itu sebagai sebuah pelarian, tapi bagi yang lainnya itu merupakan sebuah kebutuhan. Dan untuk gue, ini adalah sebuah pelarian dari rasa frustasi yang belum gue bisa redakan selama bertahun-tahun karena kenangan buruk dengan seorang brengsek yang gue haramkan untu sebut namanya saat ini.
Seseorang yang seperti sedang tersenyum remeh kearah gue di salah satu billboard banner yang berada di tengah-tengah kota ini ...
Gue mengepalkan tangan gue sampai buku-buku jari gue memutih, melihat wajah dia yang selalu bertebaran di billboard, iklan di televisi dan juga majalah membuat gue merasa muak.
Rasa kekesalan itu semakin membesar sampai suara dering handphone gue membuat gue mengalihkan pandangan gue dari orang yang telah membuat gue terluka bertahun-tahun yang lalu itu.
"Git, dimana?" Suara khas IIm di sebrang sana membuat gue sedikit menyeritkan alis gue heran, pasalnya nomor pemanggil yang digunakan adalah milik Rara.
"Di jalan,"
"Jalan ke kamar mandi?" tanyanya sedikit sarkas.
"Lain kali video call sekalian biar lo ngeliat gue dimana," jawab gue ketus.
"Wess... sensi bener, santai dong, gue udah di bar punya Chanyeol, lo ikut ke sini kan?"
Gue bisa mendengar suara ramai di belakang suara sambungan telepon Iim, setahu gue bar milik Chanyeol sedikit eksklusif dan berkelas, tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalamnya sehingga tidak ribut dan penuh keramaian layaknya klub milik Kris pacar Joana.
"Kok rame banget sih Im?"
"Chanyeol ngundang angkatan kita buat reunian, sekalian dia ulang tahun kan,"
Gue dan Chanyeol dan juga Iim memang satu sekolah saat kami SMA dulu bersama Rara, dan juga Joana dan bersama orang brengsek yang gue haramkan untuk menyebut namanya itu. Bertemu dengan dia adalah hal terakhir yang gue inginkan saat ini.
"Dia nggak akan dateng kan im? Gue nggak akan mau kesana kalau dia dateng,"
"Ini udah tujuh tahun, Git."
"Mau tujuh tahun, sepuluh tahun ataupun dua puluh tahun gue nggak akan bisa ngelupain apa yang udah dia lakuin sama gue!" seru gue dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.
"Dia publik figur, jadwalnya padet, nggak mungkin dateng juga. Lagian kita semua udah kehilangan kontak dia bukan?" balas Iim dengan nada yang menenangkan yang membuat gue tersadar kalau gak ada gunanya untuk marah sama dia. Gue memutuskan untuk menghela napas sebelum kembali bertanya.