Ia akan mendapat kabar buruk. Jeongyeon dapat merasakannya sampai ke tulang. Firasat itu bukan lah sesuatu yang asing. Ia sering merasakan hal-hal tertentu. Terkadang perasaan itu seacak saat ini ―tidak lebih dari rasa mengganjal, sebuah gatal di belakang leher yang berusaha mengingatkannya bahwa ada sesuatu yang bermasalah tanpa meberikan keterangan jelas tentang apa yang sebenarnya salah. Di waktu lain, perasaan itu sungguh spesifik namun sungguh banal; ia akan tahu dengan tepat di mana barang-barang kecil yang menghilang, seperti misalnya stempel milik LEM FIB atau hard drive yang tertinggal di warung fotokopian. Tapi tentu saja, ada saat di mana firasat itu adalah ganjalan besar di dadanya, sebuah peringatan yang mengerik ke seluruh tubuhnya.
Sebut saja itu intuisi, sebut saja itu insting, sebut saja itu bakat―terserah. Intinya adalah ia tahu bahwa ia akan segera menerima kabar buruk, dan itu membuat Jeongyeon semakin sulit untuk fokus dalam tugas penelitian lapangannya.
Ia yakin dua orang rekannya, yang saat ini sedang membantunya meletakkan koordinat bidang hutan yang dimiliki kepala desa pada sore itu, merasakan kegusarannya juga. Hanya saja Jeongyeon tak berani membicarakannya. Yang ia tahu, perasaan mengganjal ini bisa datang hanya sesederhana karena ia sedang homesick. Meski empat hari lagi tim penelitiannya akan kembali ke Jogja. Pikirnya semua kekhawatiran yang ia rasakan hanya akan terdengar bodoh jika ternyata masalahnya memang karena homesick semata. Lagi pula Jeongyeon memang bukan orang lapangan, ia merasa lebih nyaman untuk duduk di suatu tempat dan dikubur oleh buku-buku referensi seraya melakukan studi literatur dan dokumen. Itu semua terdengar lebih menyenangkan menurutnya ketimbang harus mendaki bukit dan berakhir menjadi juru tulis bagi rekan-rekannya yang mondar-mandir dengan alat penjejak GPS. Tapi Jeongyeon tak punya pilihan lain, kan? Ia sudah tinggal sejengkal lagi dari waktu yang ditentukan bagi mereka semua untuk akhirnya selesai dari tugas penelitian. Tetap saja, ia sudah rindu berat pada Gembrot, kucing dari indekos sebelah yang kerap kali nongkrong di dapur bersama milik gedung indekosnya. Jeongyeon juga sudah rindu kasurnya sendiri di kamarnya sendiri. Terlebih lagi, Jeongyeon rindu Wonwoo.
Tinggal empat hari lagi dan ini semua akan segera berakhir, gumamnya. Jeongyeon baru saja menyentuh kasur kapuk yang jadi tempatnya beristirahat selama tiga minggu ke belakang ketika nada pesan masuk pada ponselnya berbunyi. Ini sudah lewat tengah malam dan Jeongyeon sudah siap untuk terlelap setelah seharian mencari data, namun identitas pengirim pesan yang muncul di layar ponselnya mampu membuat ujung bibirnya terangkat meski hanya sedikit. Tidak lain adalah pesan dari Wonwoo;
Jeongyeon sungguh sungguh sungguh sungguh rindu Wonwoo. Ia sendiri bahkan tidak dapat menjelaskan betapa ia ingin segera berada di Jogja saat ini dan memeluk Wonwoo dengan erat, meski ia harus berenang dari Tahuna hanya untuk membuat keinginannya menjadi realita. Tapi untuk saat ini... Jeongyeon hanya ingin memejamkan matanya, terlelap, dan menikmati istirahat yang sudah sepatutnya ia dapatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Karam Gagal Tenggelam
Short StoryKumpulan fiksi-fiksi ringan tentang idola-idola kesukaan kalian yang diramu dengan cinta oleh Pugjimin dan Kaesually. 💓💓💓 Idol as Mahasiswa Jogja Universe Stories: 1. Kalau BTS Kuliah dan Jadi Mahasiswa' by Pugjimin 2. Kalau Jadi Mahasi...