Musik melayang-layang keluar garasi, menggema dan menenggelamkan kerumunan manusia yang menyinkronkan reaksi tubuh dengan musisi idolanya di atas panggung sederhana. Aku bisa merasakannya sampai ke tulang. Malamnya hidup dengan segala kemungkinan. Aku bahkan bisa merasakan diriku mengawang melalui lautan manusia, melupakan tentang hidup yang sudah aku lalui sampai saat ini. Terutama melupakan tentang dia.
Begitu aku berjalan menuju jalan masuk yang kubayangkan sebagai kebebasan, aku langsung berharap kerumunan manusia itu akan langsung mendorong aku kembali keluar. Atau lebih baik lagi, menelanku.
Di sana dia rupanya.
Seseorang yang paling tidak ingin kutemui di dunia ini sedang bersandar di salah satu dinding, dengan gelas plastik setengah penuh di tangan, dan berbincang dengan orang-orang yang tidak aku kenal. Aku datang ke sini untuk lupa, untuk lepas, namun bisa kurasakan badanku menegang dan kembali teringat akan segala hal yang ingin kuhindari.
Di sana ia tertawa, dan di sini aku berusaha untuk menyembunyikan diri dengan orang-orang yang mengelilingi aku. Meski itu semua tidak berguna karena tak lama setelah berada dalam ruangan yang lapang dengan berpasang-pasang badan penuh keringat, pandangannya bertemu denganku dan terkunci untuk sesaat. Secepat itu pula aku membalikan badan. Telapak tangan di dada untuk menenangkan detak jantung yang bergemuruh, musik di belakang hanya tinggal desingan.
Kalau aku bisa menghilang kapan saja, sekarang adalah waktu yang tepat.
Rasanya seperti orang-orang yang menari di sekelilingku bergerak dengan sangat lambat, napasku yang tak teratur mulai melaun dengan waktu. Yang kuinginkan hanya situasi ini, perasaan ini, untuk segera berlalu. Dan itulah yang terjadi. Dengan sebuah tepukan di bahu, semuanya buyar kembali kepada kenyataan, dan suara yang telah kucoba untuk aku lupakan, membangunkan aku.
"Yuha?"
Aku menelan ludah dan menolak untuk berbalik. Kutarik bahuku dari jemarinya yang tidak terangkat sama sekali dan berjalan maju, ke mana pun langkahku membawa sejauh mungkin dari tempat ini.
Uh, apa sih yang aku pikirkan? Mau mabuk di tempat umum untuk melupakan cinta yang sengaja aku lepaskan? Tentu saja. Aku merasa bodoh. Aku tahu aku menyedihkan, dan aku sungguh benci karena sudah merasa seperti ini. Aku benci bagaimana ia menyebut namaku, tapi meski sudah banyak air mata yang aku tumpahkan, tetap saja suaranya membuat lututku lemas. Aku melangkah ke arah jalan komplek yang di kanan-kirinya dipenuhi kendaraan bermotor yang sedang parkir. Aku tidak peduli dengan yang aku tinggalkan, atau ke mana jalan ini akan membawaku, aku hanya ingin lepas. Kutarik kemeja flannelku lebih rapat dan membiarkan hembusan angin yang menerpa wajahku memberi sedikit rasa tenang.
Sepasang manusia yang sedang asyik bercengkerama di atas sepeda motor tiba-tiba menghentikan obrolan mereka ketika melihatku, merasa terganggu mungkin. Aku berhenti di sebuah pertigaan tepat di sebelah pos ronda yang hanya diterangi sebuah lampu neon. Dua jalan yang bercabang di depanku tak memiliki penerangan sedikit pun dan membuatku ragu. Tentu saja. Saat aku akhirnya terduduk di salah satu bangku, figur berbayang dengan wajah yang terlalu aku kenali menampakan dirinya di bawah cahaya lampu. Ia menarik napas panjang seolah lega setelah melihatku.
"Yuha." Aku hanya menatap ke lantai menahan rasa panik.
"Eunwoo," balasku. Ketika aku akhirnya menyerah dengan perasaan bersalah, aku menatapnya balik dan melihat kedua tangannya di dalam saku, juga ekspresi tak terbaca di wajahnya. Membuat aku semakin sadar dengan keberadaanku juga setitik rasa takut terhadap apapun yang mungkin muncul.
"Bisa jelasin kenapa dua minggu terakhir ini kamu cuekin aku?" kugigit bibir bawahku, ini pertanyaan yang paling tidak ingin kudengar. Aku sudah menghindarinya selama ini karena aku sedang berusaha untuk move on. Sebelum kami bisa kembali menjadi teman, aku hanya bisa memikirkannya sebagai 'mantanku'.
"Aku sibuk..." Sebelah alisnya terangkat, tidak mempercayai perkataanku.
"Terlalu sibuk untuk bales chat aku, tapi oke-oke aja untuk ngerespons Bambam dan jalan sama Namjoon?" Aku menggigit bibirku lebih keras. Ini tidak akan terjadi kalau bukan karena aku berada di tempat yang salah, di waktu yang salah. Kalau bukan karena aku tidak sengaja melihatnya merangkul perempuan lain, dan perempuan itu menatapku seolah ia tahu segalanya. Aku salah karena kami sudah bukan apa-apa, tapi aku masih merasa cemburu.
"Apa aku ngelakuin kesalahan?" Tanya Eunwoo lagi, mendudukan dirinya di sampingku di atas bangku. Aku hanya menggeleng.
"Terus kenapa, dong?" aku menghela napas, menyadari sudah seberapa dekat posisinya dariku. Aku bergeser sedikit untuk memberi sedikit jarak di antara kami. Ia melihatnya dan bergeser ke arahku untuk menghilangkan jarak yang sudah kubuat. Aku hanya bisa menarik napas panjang.
"Aku cuma butuh waktu sendirian, Eunwoo!" seruku, menghentikan gerak-geriknya.
"Kenapa?" aku hanya memelototinya. Ia tahu bagaimana bencinya aku tiap kali ditanyai 'kenapa' terus menerus. Ia selalu melakukan itu untuk menggodaku, tapi aku sedang tidak dalam keadaan pikiran yang paling baik.
"Kenapa cuma aku? Kalau aku nggak ngelakuin kesalahan apapun terus kenapa kamu cuma cuekin aku?"
"Nggak segampang itu jawabnya." Eunwoo bergerak dengan cepat hingga rasanya kami sudah tidak berjarak. Tangannya yang dikepal di dinding di samping kepalaku. Ia begitu dekat sampai-sampai rasanya aku tidak bisa bernapas.
"Tinggal jawab doang, apa susahnya, sih?" aku menatapnya dengan amarah dan dia menatapku penuh frustrasi. Aku benci konfrontasi juga ketidakberdayaan dalam perangkap Eunwoo dan sudut sempit pos ronda.
"Aku nggak ngerti kenapa kamu berharap aku mau ngejawab pertanyaan kamu, seolah kamu ayahku." Aku bisa melihat rahangnya menegang. Ia juga terlihat terluka, frustrasi, kesal, dan murka. Mendorong dirinya jauh dari dinding, berdiri, dan menjauhi aku.
"Kamu tuh nggak adil banget, deh. Kamu bilang kita masih bisa temenan tapi kamu sama sekali nggak ngehirauin aku, sedangkan aku harus terus-terusan lihat kamu interaksi sama orang-orang di sekeliling aku," ia menarik napas sebelum meneruskan, "Aku bikin salah ya? Apa kamu udah nggak mau ngelihat aku lagi? Apa kamu udah nggak mau temenan sama aku lagi? Apa kamu udah nggak suka aku lagi?"
Mataku basah ketika aku melihatnya mati kutu, mengharapkan aku memaafkannya ketika ia sebenarnya tidak melakukan kesalahan apapun. Salahku yang jatuh cinta kepadanya dengan begitu naif dan membuat kekhawatiranku sendiri merusak hubungan kami. Salahku yang begitu egois dan bertingkah kekanakan. Aku tak punya pilihan lain selain mengambil keputusan yang mungkin akan aku sesali setelahnya. Aku ingin tetap berada di sampingnya.
Aku ingin berada di sana dan memeluknya ketika ia menangis karena patah hati, atau di sana pada saat-saat menyenangkan bersamanya. Sudah cukup sulit bagiku untuk tidak mengangkat teleponnya, atau membalas pesan-pesannya.
Aku melangkah ke arahnya, mengulurkan tanganku untuk meraihnya. Ia bergerak mendekat, kebingungan, tapi itu tidak menghentikannya untuk membalas pelukanku dan melingkarkan lengannya pada bahuku seperti lenganku pada pinggangnya.
"Aku nggak akan bisa nggak suka kamu, Eunwoo. Aku sayang kamu." Dan begitu lah. Dengan cerobohnya kata S itu bergulir. Sebuah kata yang tidak bisa aku tarik kembali, dan Eunwoo yang membeku di bawah sentuhanku bukannya membuat ketakutanku makin terbukti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Karam Gagal Tenggelam
Short StoryKumpulan fiksi-fiksi ringan tentang idola-idola kesukaan kalian yang diramu dengan cinta oleh Pugjimin dan Kaesually. 💓💓💓 Idol as Mahasiswa Jogja Universe Stories: 1. Kalau BTS Kuliah dan Jadi Mahasiswa' by Pugjimin 2. Kalau Jadi Mahasi...