2

334 53 0
                                    

Malam sudah cukup lama menyapa alam. Sedikit kelam, mungkin karena mendengar isak tangis tiada berkesudahan di rumah itu. Rukmini menangis di kamarnya.

Dari balik jendela, dia melihat anaknya duduk sendirian di atas tikar pandan yang digelar di kebun, di bawah pohon sukun. Sejak isya tadi, ia telah berada di sana.

Rukmini menghela nafas. Melapangkan rongga dada yang sejak tadi bergoncang. Ia terus memandangi Kinanti dari balik jendela. Anaknya seperti ingin menikmati kesendirian di malam yang pekat.

Rembulan sudah hampir dua pekan tak bundar lagi. Menyisakan cahaya di salah satu sisi saja, membentuk sabit melengkung.

Beruntung masih ada bintang-gemintang menemani. Rukmini menghapus linangan air matanya. Tanpa menghiraukan rematik yang seringkali kambuh jika terkena dingin malam, dia meninggalkan kamar.

Hanya satu tujuannya, menemani Kinanti di kebun, di bawah pohon sukun.

“Ibu memprihatinkanmu, Nduk,” ujarnya, begitu bergabung dengan anaknya.

“Anti tidak apa-apa kok”.

“Tapi mengapa sampai selarut ini masih duduk di sini?”

“Hanya kangen saja duduk di sini. Duduk di atas tikar pandan, di bawah pohon sukun. Dulu kita sering duduk di sini. Ibu masih ingat kan?’

Kinanti coba mengalihkan pembicaraan. Ia memang ingin melupakan segalanya tentang Rinto, juga pekerjaannya di Jakarta. Cetak majalah masih tiga minggu, masih banyak waktu untuk mengumpulkan bahan tulisan.

“Bagaimana bisa melupakan, Nduk? Ibu kan pernah kejatuhan buah sukun saat duduk di sini. Tapi ya memang salah kita. Mengapa duduk di sini ketika pohon sukun sedang berbuah lebat”.

Rukmini dan Kinanti kemudian tertawa, mengingat pengalaman masa lalu. “Untung saja jatuhnya di kaki. Coba kalau mengenai kepala Ibu, pasti pingsan”.

“Ibu… Ibu…,” kata Kinanti masih tertawa. “Orang Jawa selalu begitu ya. Selalu berkata untung setiap mendapat musibah”.

“Kamu pikir, kamu bukan orang Jawa?”

Ibu dan anak itu kembali tertawa, bahkan lebih lepas dan kencang, meski hati mereka sebenarnya sama-sama menangis.

Malam makin larut, mungkin hampir pagi. Sesekali terdengar kokok ayam jantan dari kandang. Keduanya lalu terdiam cukup lama. Masing-masing larut dalam lamunannya. Rukmini mengangkat muka, menarik nafas sesaat, lalu menoleh kepada anaknya.

“Kamu belum menjawab pertanyaan Ibu”.

“Pertanyaan apa?”

“Ada persoalan apa sehingga kamu pulang tanpa memberitahu Ibu?”

“Anti ingin bikin kejutan saja. Kebetulan ada undangan pameran di Amplas, pulangnya mau mampir kemari,” jawab Anti mencoba jujur. Tetapi ia kembali gamang meneruskan detail cerita sebenarnya.

“Tujuanmu untuk mengejutkan Ibu sudah tercapai,” kata Rukmini, sembari mengelus-elus rambut anaknya. “Tetapi ada satu hal yang tidak bisa kamu tutupi dari Ibu. Kamu kelihatan sedih, Nduk. Tolong ceritakan, kalau kamu masih menganggapku sebagai Ibu”.

Kinanti tak punya pilihan lain. Selama ini, hanya Ibu satu-satunya tempat curhat paling menenteramkan. Terlebih ia anak tunggal, anak semata wayang. Sejak SMP, dia sudah ditinggal pergi ayahnya yang kawin lagi. Ia dan Ibu hidup berdua di rumah itu, selama bertahun-tahun, dalam suka dan duka, sebelum akhirnya Kinanti bekerja di Jakarta.

Kinanti merasakan sendiri kesulitan hidup di masa lalu, terutama semasa SMP dan SMA. Beruntung saat kuliah di UGM, ia mendapat beasiswa Supersemar dan sesekali menulis artikel di beberapa koran lokal.

“Ibu tidak marah?”

“Apa Ibu pernah memarahimu?”

“Ah, kalau marah juga tidak apa-apa. Anakmu memang pantas dimarahi”.

“Sebenarnya ada apa to Nduk? Kamu itu anak yang gigih sejak kecil, ulet, dan pintar. Bersama Ibu, kamu kuat menghadapi masa lalu yang begitu pahit. Ada apa to Nduk? Tadi kamu janji mau berterus terang. Janji harus ditepati lo. Harus!”

“Ibu sendiri sudah janji tidak mau marah,” kata Kinanti.

“Apakah Ibu terlihat marah? Tidak kan? Ibu tidak marah”.

Kinanti kembali terdiam. Terjadi perang batin di dalam hati. Melihat reaksi Ibu yang bijak seperti ini, ia justru takut menceritakan semua luka yang dipendamnya. Tetapi kalau terus-menerus disembunyikan, Ibu akan menganggapnya sebagai perempuan cengeng. Ia tidak ingin dianggap perempuan cengeng.

“Seminggu lalu kamu bertunangan dengan Rinto. Katanya mau kemari lagi seminggu sebelum menikah. Kenapa sekarang kembali ke sini? Bahkan tak mengabari terlebih dulu. Kamu bertengkar dengan Rinto?”

Dalam diamnya, Kinanti mengakui naluri Ibu yang sangat kuat. Pertanyaan apakah ia bertengkar dengan Rinto sudah membuktikan hal itu.

“Rinto menyakitimu? Membatalkan pertunanganmu? Batal menikahimu?”

Diberondong tiga pertanyaan ini, Kinanti tidak mampu lagi membendung tangisnya. Ia bukan menangisi nasibnya, tetapi karena Ibu dengan mata batinnya mampu menerka apa yang dialaminya.

Tubuh Rukmini bak dialiri magnet saat anaknya membenarkan semua dugaannya. Tanpa terasa, tanpa sengaja, ia pun menitikkan air mata. “Bukan Mas Rinto, tetapi Anti yang membatalkan pertunangan itu!”

“Masya Allah!!! Kamu membatalkan pertunangan? Mengapa tidak bicara dulu sama Ibu?”

“Katanya Ibu tidak akan marah kalau aku berterus-terang,” sahut Anti sesenggukan.

Rukmini buru-buru memperbaiki sikapnya. Dia tahu persis sifat anaknya yang kritis, cerdas, dan selalu punya alasan kuat setiap mengambil keputusan.

“Baik, Nduk. Ibu tidak marah. Ibu hanya perlu tahu mengapa kamu dan Rinto nggak jadi menikah?”

Akhirnya, Kinanti menceritakan semua pertengkaran di Amplas semalam. Rukmini bisa menerima, karena dia tahu benar keteguhan anaknya dalam memegang prinsip. Lagi pula, ia bertahun-tahun berjuang mengisi perut anaknya dari rezeki yang halal. Ia pun tak ingin melihat perut cucu-cucunya kelak terisi makanan dari rezeki yang haram.

“Sudahlah, Nduk. Semua sudah terjadi. Kamu harus kuat menghadapi, sebagaimana Ibu dulu sekuat tenaga mencoba teteg, tegar, sejak bapakmu kawin lagi dan meninggalkan kita begitu saja”.

“Maafkan anakmu, Ibu. Anakmu telah memalukan Ibu”.

Rukmini memeluk anaknya erat-erat. Lama, lama sekali, sampai azan subuh terdengar dari surau di kejauhan.

(Tbc)

KinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang