6

345 43 6
                                    


Ponsel tiada henti-henti berdering. Email penuh dengan pesan baru. Semua itu gara-gara enggang gading, tetapi Kinanti merespon seluruh komentar pembaca dengan senang hati.

Kemarin, Kinanti menurunkan tulisannya tentang enggang gading di salah satu media sosial terkemuka. Ia hanya menyinggung sekilas mengenai sindikat perdagangan paruh enggang gading, dan lebih fokus pada keberadaan enggang gading dalam masyarakat suku Dayak.

Kinanti menulis bukan untuk menyadarkan sindikat perdagangan paruh enggang gading. Percuma menyadarkan mereka, ketika uang di mata mereka adalah segalanya. Ia ingin membangun pemahaman kepada para pembaca yang belum tahu banyak soal enggang gading, sehingga suatu saat nanti bisa melakukan perlawanan kolektif terhadap sindikat pembantaian dan perdagangan paruh burung eksotik tersebut.

Sebagian besar bahan tulisan berasal dari perjalanan jurnalistiknya ke Taman Nasional Betung Karihan, Kapuas Hulu, ditambah referensi lain termasuk dari blog dan website rekan-rekan aktivis peduli lingkungan hidup.


Masih terlintas jelas bagaimana wawancaranya dengan Hayyin, pemuka adat Dayak di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah, usai berkunjung di Kapuas Hulu.

“Nenek moyang masyarakat Dayak begitu menghormati burung enggang. Nilai-nilai itu masih berlaku hingga sekarang,” tutur Hayyin saat itu.

Ujud nyata penghormatan ini terlihat dari penggunaan gambar enggang pada logo Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Universitas Lambung Mangkurat, dan beberapa organisasi / komunitas lainnya.

“Bapak tahu, apa alasan utama nenek moyang zaman dulu sehingga menghormati burung enggang?” Tanya Kinanti.

Hayyin tak segera menjawab. Ia menundukkan muka. Entah mengenang, entah mencari jawaban. Tetapi itu hanya sekian detik saja. Lelaki kharismatik itu lalu mengangkat muka dan menatap Kintanti.

“Salah satu sebabnya karena sosok burung itu yang sangat besar dibandingkan dengan jenis burung lain yang ada di hutan,” ujarnya kemudian.

“Cuma itu?”

“Suara dan kepak sayapnya saat terbang juga berwibawa”.

“Pasti masih ada lagi,” Kinanti terus mencecarnya.

“Keindahan bulu dan paruhnya. Tetapi faktor inilah yang justru menggoda orang-orang tertentu untuk memperdagangkan paruh enggang”.

Kinanti mengangguk-anggukkan kepala. “Saya dengar, enggang dikenal sebagai burung yang sangat setia. Benarkah itu?”

“Oh, benar sekali. Faktor ini juga menginspirasi leluhur kami untuk memuliakan burung enggang. Banyak sekali memang faktornya, yang semuanya bermuara pada kesepakatan sosial untuk tidak membunuh burung enggang dan memakan dagingnya,” tutur Hayyin.

POPULASI ENGGANG GADING TERUS MENYUSUT DAN TERANCAM PUNAH

Yang membuat Kinanti makin terkesima adalah ketika Hayyin bercerita tentang mitos Panglima Burung yang diyakini masyarakat Dayak. Meski nalarnya tak menerima apapun yang bernama mitos, dia harus menghormatinya sebagai cara masyarakat tempo dulu dalam membangun spirit komunitasnya.

Ya, dalam budaya suku Dayak, Panglima Burung dianggap sebagai penjelmaan burung enggang. Sosok ini tinggal di gunung pedalaman Kalimantan, berujud gaib, dan hanya hadir pada saat perang saja. Itu sebabnya, enggang dianggap sakral dan tidak boleh diburu apalagi dimakan. Bukankah itu sebuah kearifan lokal yang diturunkan nenek-moyang agar tak terjadi perburuan burung di alam bebas?

Kinanti juga mengagumi kesetiaan masyarakat Dayak dalam menaati pesan leluhurnya, agar jangan sekali-sekali membiarkan jasad burung enggang yang mati di hutan. Begitu menemukan jasadnya, masyarakat wajib memperlakukannya dengan baik. Rangka bagian kepala diawetkan dan diserahkan kepada pemuka adat. Hiasan kepala dari rangka kepala burung enggang ini pun hanya boleh digunakan oleh orang-orang terhormat.

KinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang