5

278 43 2
                                    


Jakarta benar-benar makin tidak bersahabat dengan warganya.
Macet, panas, waswas, dan cemas bercampur aduk menjadi satu.

Jakarta hanya serasa surga, ketika kita sudah tiba di rumah, kantor, atau gedung berpendingin udara, sambil mendengarkan musik kegemaran, menyantap makanan kesukaan, bercengkerama dengan keluarga atau sahabat setia.

Celakanya, Kinanti tidak mendapatkan semuanya siang ini. Begitu tiba di kantor majalah Ecomagz, dia hanya menjumpai dua office boy yang duduk di ruang lobi yang gelap dan gerah.

“Listrik mati, Mbak! Sudah satu jam lebih,” kata Irwan, salah seorang office boy yang kerap melayani keperluan Kinanti di kantor.

Kinanti hanya bisa menggerutu. Bagaimana negeri ini bisa maju, apabila asupan dasar perekonomian seperti listrik kerap byar-pet. Batal sudah semua rencananya siang ini, yang sudah disusun selama dalam perjalanan udara dari Jogja ke Jakarta.


Mestinya, siang ini Kinanti akan memeriksa semua file hasil liputan ke Taman Nasional Betung Karihun, baik teks maupun gambar. File-file tersimpan rapi dalam komputernya di kantor. Selanjutnya memindahkan hasil jepretan dan beberapa data penting saat liputan di Amplas kemarin ke dalam komputernya.

Hasil jepretan memang tersimpan dalam memory card kamera digital. Tetapi data penting disimpan dalam memori otak, yang mungkin bisa terhapus kalau tak segera diketik di komputer.

Setiap kali melakukan peliputan yang memerlukan penyamaran, Kinanti tidak pernah menggunakan notebookuntuk mencatat sesuatu. Ia selalu mengandalkan memori untuk menyimpan data sementara. Ia ingin memastikan penyamarannya tidak diketahui orang lain.

Jam empat sore nanti, dia mesti ke rumah Anggito di Pamulang. Kepastian ini diperoleh Kinanti usai menelepon Anggito, saat berada di taksi dalam perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta ke kantornya. Mungkin siang ini Anggito juga sudah tiba di Jakarta.

Masih ada tiga jam waktu luang. Mau tidur di kantor, mesin pendingin mati karena aliran listrik juga mati. Mau pulang ke mess di Menteng pasti terjebak macet lagi, apalagi anak-anak sekolah sebentar lagi pulang, jalanan pasti makin macet.

Ah, sore nanti Pamulang juga bakal macet, karena orang-orang pulang kerja. Lebih baik ke sana sekarang, meski tidak langsung ke rumah Anggito. Mungkin bisa ngadem di mal atau makan di resto sekitar Pamulang, baru ke rumah lelaki itu.

*****

Rumah itu terlihat luks jika dibandingkan dengan sebagian besar rumah warga lainnya. Bergaya Eropa klasik, dengan dominasi warna putih, dan berdiri di atas tanah dengan lebar sekitar 30 meter.

Pagarnya bercat putih pula, tidak terlalu tinggi, mungkin sekitar satu setengah meter, yang dilambari fiberglass semi-transparan. Kinanti sedikit gamang melihat pos penjaga. Ada dua satpam bertubuh kekar di sana.

“Bisa bertemu Pak Anggito? Sudah janji!” Ujarnya kepada seorang satpam.

“Mbak Dinda?”

“Betul”.

Kinanti sedikit lega. Rupanya Anggito telah mengabarkan rencana kedatangannya kepada satpam.

Satpam satunya lagi membukakan pintu gerbang, dan dengan ramah menyilakannnya masuk. Kinanti mengikuti langkah satpam menuju ke teras depan.

“Silakan tunggu sebentar. Pak Anggito dalam perjalanan pulang”.

“Dari bandara?”

“Siang tadi sudah tiba. Beliau pamit ke Serpong, menengok penangkaran burung-burung khas Kalimantan,” tutur satpam tanpa pretensi apapun.

KinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang