Saat ini gue berada di ruang UKS bersama Gabriel, Adrian dan juga Arka. Gue menyuruh Aluna pergi setelah gue bertemu mereka tadi. Gabriel dengan hati-hati mengobati luka yang ada di pelipis gue. Untungnya, luka tersebut bukanlah luka yang parah katanya. Masih bisa ditangani tanpa harus dijahit.
Konyol. Baru dua hari sejak gue tinggal bersama Aluna, dia sudah menyebabkan masalah segini parahnya. Gue nggak bisa membayangkan masalah apa lagi yang akan timbul kedepannya. Jujur, gue merasa nggak sanggup ngadepin ini semua.
Seperti kalian tau, kami berempat dikenal sebagai siswa teladan di SMA Adhi Bangsa. Kami tidak pernah terlibat dengan masalah apa pun di sekolah, hanya ada prestasi bagi kami. Entah itu mengikuti lomba antar sekolah atau provinsi, bahkan Gabriel pernah dikirim ke luar negeri untuk lomba piano di sana. Keren kan? Gue sendiri beberapa kali dikirim oleh wali kelas gue untuk mewakili sekolah di lomba cerdas cermat serta olimpiade sains bersama Adrian. Jadi, jika kami berempat, dan gue khususnya, terus menerus terlibat dalam masalah, prestasi kami akan terganggu.
"Terus kedepannya, lo mau gimana Van? Kayaknya lo harus diskusiin masalah Aluna ke orang tua lo deh. Gabisa kayak gini terus kan?" protes Arka, yang sepertinya juga lumayan terganggu dengan masalah ini. Dia memang selalu satu jalan pikiran dengan gue.
"Tapi gue yakin dia bisa berubah kok." Sahut Adrian.
Seperti yang gue bilang tadi, semua tidak sesimpel itu. Kalau seandainya seorang Aluna bisa berubah, kenapa tidak sejak dia tinggal di rumah gue aja dia memiliki keinginan untuk berubah? Apa dia memikirkan perasaan nyokap gue kalau tahu tentang ini semua? Cepat atau lambat, wali kelas gue pasti akan membicarakan hal ini kepada gue. Dan sialnya, Mama dan Papa juga sedang tidak berada di Jakarta. Siapa yang akan menangani masalah ini selain gue? Nggak mungkin kan mereka kembali ke Jakarta hanya untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh Troublemaker itu? Masalah perusahaan Papa di Surabaya saja sudah cukup menyusahkan mereka.
"Jadi, nyokap bokap gue lagi di Surabaya dan nggak tau kapan pulangnya. Perusahaan di sana lagi kacau-kacaunya, dan anak macam apa gue kalau harus menyeret mereka juga dalam masalah Aluna ini?" jelas gue.
Gue menghela napas. Selagi gue berpikir bagaimana cara untuk menyelesaikan dan membuat Aluna merubah sikapnya, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruang UKS. Oke. Itu Gladys. Hari ini aku sama sekali belum bertemu dengannya karena terlalu sibuk dengan Aluna. Aku tersenyum kikuk, ekspresiku berubah seratus delapan puluh derajat saat melihat wajah cantik Gladys. Kulitnya yang putih, hidungnya yang mancung karena ia memiliki darah Arab sepertiku, serta alisnya yang tebal. Seperti biasa, ia membiarkan rambutnya yang ikal tergerai dengan sebuah jepit rambut yang berada di sisi kanan rambutnya. Dia cantik.
Gladys merupakan salah satu cewek berprestasi di sekolah, sama seperti gue. Kami bertama kali bertemu saat kami mengikuti lomba cerdas cermat antar kota. Semenjak itu, kami sangat dekat namun tidak memilih untuk merubah status kami menjadi berpacaran. Gue dan Gladys memutuskan untuk fokus pada pelajaran dan tetap saling menjaga perasaan kami masing-masing. Selain aktif mengikuti berbagai kegiatan lomba, Gladys juga merupakan anggota Organisasi Siswa di sekolah. Dia menjabat sebagai wakil ketua. Ekstrakulikuler basketnya juga cukup menyita waktunya, jadi, keputusan tepat untuk tetap berteman baik tanpa harus berpacaran. Gue tidak keberatan.
"Ada apa Dys?" tanya gue.
"Boleh gue bicara berdua sama Ervan?" tanyanya kepada ketiga sahabat gue, dan mereka mengangguk.
Oke, sepertinya dia sudah mendengar topik yang sangat hangat hari ini antara gue dan Aluna, si cewek troublemaker. Saat ini Gladys juga berwajah serius, membuat gue agak takut dia akan menjauhi gue.
Setelah ketiga sahabat gue itu keluar dari ruangan, Gladys duduk di samping gue. Dia menatap gue lamat-lamat lalu bertanya, "Kata orang-orang itu bener, Van? Kok bisa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MGS [1] Troublemaker Girl
Genç KurguFull Chapter Tersedia di Dreame. Link in bio.