Pagi ini, Aluna sudah berani menatap gue. Kami berangkat sekolah bersama, dan gue berharap kali ini Aluna nggak nyari masalah sama siapa pun. Kalau bisa, seterusnya.
Masih terlihat jelas lebam berwarna biru di pipinya, hanya pudar sedikit. Tapi gue rasa, dia sudah biasa.
"Lo inget kan kata-kata gue semalem?" Tanya gue, sebelum dia turun dari motor gue.
Gue tidak menyuruhnya lagi untuk turun sebelum sampai di sekolah. Gue nggak mau kejadian seperti kemarin terulang, toh, semua siswa sekolah udah tau tentang gue dan Aluna yang tinggal bersama. Termasuk Gladys. Dan mereka pun sepertinya tahu tentang orang tua gue yang mengangkatnya juga sebagai adik gue. Jadi, hubungan kita cuma sebatas kakak dan adik angkat. Tidak lebih.
"Inget, tapi gue juga boleh, dong, minta persyaratan!" Katanya, ia tersenyum.... Gue nggak tau itu termasuk senyum licik atau menggoda?
"Persyaratan apa?"
"Lo ngga usah judes-judes sama gue."
Hah?
Meskipun gue sempat bingung, pada akhirnya gue menyanggupinya. Gue mengangguk, "Asal lo mau berubah," kata gue.
Semoga aja, sifat Aluna yang bisa diajak berkompromi ini tahan lama. Gue harap dia konsisten untuk merubah sikapnya, dan berhenti melakukan hal-hal tidak berguna dan membuang waktu.
Gue segera masuk ke dalam kelas, di sana, ketiga sahabat gue sudah berkumpul. Ah ya, gue dan Adrian memang masuk ke jurusan IPA. Kami sekelas. Sementara Arka dan Gabriel, mereka anak jurusan IPS. Mereka tidak sekelas. Kami mulai bersahabat sejak kami aktif mengikuti berbagai macam lomba. Kami sering bertemu di ruang guru untuk menyiapkan lomba-lomba yang akan kami ikuti. Dan biasanya, saat lomba kami selesai, kami akan berkumpul untuk merayakan kemenangan. Tapi sekalipun jika kami kalah, kami akan tetap berkumpul.
"Gimana, Aluna?" Tanya Arka.
Gue melempar tas ke arah tempat gue duduk, lalu menghela napas. "Gue udah ada kesepakatan sama dia, dan gue harap dia konsisten. Seenggaknya, jangan bikin gue masuk ruang guru buat diomelin aja."
"Ayo taruhan, pasti Ervan bakalan suka sama Aluna, liat aja." Goda Adrian, dia tertawa ngakak.
"Kalo kita menang, gue bakal traktir makanan enak." Timpal Gabriel, si pendiam yang sekalinya ngomong suka bikin orang kesal.
Gue menghentakkan kaki gue dengan kesal, tangan gue hampir menoyor kepalanya. "Udah gila lo ya!" Kata gue.
Ketiga sahabat gue itu cengegesan.
*
Gue pulang telat hari ini, karena harus menyiapkan Olimpiade Sains dua minggu lagi. Seperti biasa, gue dan Adrian lah yang di kirim untuk mengikutinya. Kami biasanya belajar di ruang guru bersama wali kelas kami hingga pukul lima sore. Namun, kami selalu melebihkan, hingga pukul enam, meskipun Bu Yani izin untuk pulang duluan.
Biasanya, kami menyiapkan diri untuk mengikuti olimpiade selama satu bulan. Namun, entah kenapa kali ini kami hanya diberikan waktu selama dua minggu. Gue harus fokus belajar, karena, di olimpiade sebelumnya performa gue sangat kurang dibandingkan Adrian. Yah, meskipun kami tetap memenangkan juara kedua.
"Ervan, pokoknya kamu sebisa mungkin harus fokus untuk olimpiade kali ini. Ibu nggak mau kamu terganggu hanya karena masalah sepele yang seharusnya bisa kamu selesaikan sendiri, mengerti?" Pesan Bu Yani kepada gue.
Gue tahu, pasti ini soal Aluna. Sepertinya Bu Yani cukup takut gue akan terlibat masalah saat dalam masa persiapan olimpiade. Tapi gue akan pastikan, semoga Aluna mengerti posisi gue yang sedang diandalkan oleh sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MGS [1] Troublemaker Girl
Teen FictionFull Chapter Tersedia di Dreame. Link in bio.