Bagian 2.

59 16 13
                                    

      Jam dinding menunjukkan pukul 23.09. Aku duduk dikursi di sudut meja makan. Menatap kue ulang tahunku yang masih utuh dan dingin. Papa, Mama, dan Kakakku pastilah masih terlelap, larut dalam kesedihan masing-masing. Hujan deras mengguyur sedari pagi, rasanya janggal di bulan Juli ini tiba-tiba turun hujan yang tak berhenti selama seharian.

     Masih belum terlambat untuk merayakan ulang tahunku yang kelima belas. Tapi, siapa yang mau berbahagia merayakan sebuah ulang tahun ditengah suasana berkabung.

DUARRRR!!!!

Suara gemuruh sontak membuatku kaget. Kembali kulihat jam dinding yang kini menunjukkan pukul 23.58. Masih belum terlambat untuk mengucapkan selamat ulang tahun.

      "Selamat ulang tahun, Sara Sofia," ucapku seraya melangkah pergi.

¤¤¤

     Pagi sudah menjelang. Aku masih berbaring di tempat tidur tanpa menutup mata. Tak ada sedikitpun niatan untuk tidur. Bahkan rasa kantuk tak lagi mampir sejak aku terbangun semalam. Hujan makin deras dari hari kemarin, bukankah harusnya ini musim kemarau?

     Tok..tok.

Seseorang membuka pintu kamarku perlahan. Kulihat kepala menyembul dari sudut pintu, yang pertama kulihat saat itu adalah mata cokelat tua bening yang menatapku ragu.

      "Kau sudah bangun?" Farad, kakakku itu berjalan masuk menuju tempat tidur.

      "Hmm..sudah," jawabku seadanya.
Masih ada rasa enggan untuk bangun dari tempat tidur.

     "Turunlah, kita akan sarapan bersama," ucapnya seraya membelai rambutku lembut. Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Hawa dingin langsung menusuk saat aku turun dan memijak lantai. Rasanya enggan sekali untuk turun dan sarapan bersama. Biasanya, saat sarapan Kakek akan memuji betapa enaknya masakan Mama dan beralih menceritakan kisah masa kecilnya dulu. Semua akan mendengarkan dengan seksama sesekali kami akan menimpali dan mebanding-bandingkan dengan kehidupan anak zaman sekarang. Sekarang, entah apa yang akan jadi pembicaraan saat sarapan setelah Kakek berpulang.

      "Selamat pagi," sapaku lirih. Meskipun aku sedang tidak bersemangat tapi tetap tidak bisa menghilangkan kebiasaan salam yang Kakek ajarkan sejak kecil. Bagiku, Kakek adalah penggabungan dari Papa,Mama dan Kakakku. Beliau yang mengajarkanku hal-hal kecil sejak aku masih TK, dan hal yang paling aku ingat adalah untuk mengucap salam.

     "Selamat pagi sayang," ucap Mama sambil mengecup puncak kepalaku. Seperti biasa Mama akan sibuk saat pagi. Tangannya lincah mengaduk dan membalik masakan. Kulihat dua kompor tengah menyala yang diatasnya ditumpangi panci dan teflon berisi masakan Mama. Suara berisik keran air menandakan Mama tengah mencuci peralatan masak. Mama memang orang yang gesit, aku tersenyum dalam hati memerhatikan Mama dari sudut meja makan.

      "Aneh, ini bulan Juli dan hujan masih turun deras sejak kemarin," suara Papa dari balik koran membuatku berpaling memerhatikan. Kupikir hanya aku yang merasa aneh dengan cuaca dua hari terakhir.

     "Benar, seharusnya ini musim kemarau," ucap Kakakku menimpali. Aku meliriknya sekilas dan dia membalas dengan kedipan disebelah matanya. Apa maksudnya?

     "Ini pasti karena efek pemanasan global, sekarang kan apa-apa sudah serba elektronik, serba cepat, semua orang pasti sudah memiliki kendaran pribadi. Apalagi sekarang lahan hijau sudah semakin berkurang digantikan pabrik-pabrik industri," sambung Mama panjang sambil meletakkan masakan yang sudah matang.
Sup ayam kacang merah, dan omelet hangat dihidangkan di depan kami. Aromanya yang lezat langsung merangsek ke penciumanku membuatku sadar kalau perut ini sudah keroncongan.

YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang