Bagian 8

7 2 4
                                    

       Bangunan ini tidak seperti yang terlihat. Bagian dalamnya benar-benar luas, lantainya seperti terbuat dari kayu yang dipoles mengkilap. Aroma petrichor menyeruak begitu aku melangkahkan kakiku masuk. Nuansa didalam didominasi warna alami kayu beserta goresan urat-urat yang terukir alami. Cahaya temaram dari lentera-lentera yang menyala memberikan kesan hangat dengan warna jingga kekuningan.

     Aku menoleh kearah Prilia hendak mengatakan betapa menakjubkannya tempat ini. Tapi, baru hendak membuka suara, kukatupkan lagi mulutku rapat-rapat. Kini Prilia tengah menatapku dengan tajam, sifatnya yang kekanak-kanakan dan suka rewel itu telah menguap digantikan kesan dingin, tegas, dan berwibawa. Pakaiannya yang semula berupa dress berwarna hijau menyerupai helai daun kini berganti dengan pakaian kulit berwarna hitam seperti jaket lengkap dengan celana panjang dan sebuah tongkat runcing berwarna putih dengan garis-garis horizontal berwarna hitam. Kalau aku tidak salah menebak, sepertinya tongkat itu adalah duri landak.

Tapi, bagaimana dia berubah secepat itu?

  Sebelum aku sempat membuka suara kembali, Prillia kini terbang tepat didepan wajahku. Suaranya kini terdengar tajam, dalam, dan begitu berwibawa masuk kedalam telingaku.

     "Siapa kau sebenarnya Sara Sofia?" Tanyanya menuntut jawaban sesegera mungkin. Tongkat duri landaknya mengacung seolah hendak ditancapkan dihidungku saking dekatnya, aku bahkan bisa merasakan ujung duri landak itu tajam.

Aku bingung harus menjawab apa. Siapa aku sebenarnya? Memangnya siapa lagi kalau bukan Sara Sofia. Tapi aku tahu bukan itu jawaban yang ia cari.

Belum lagi aku membuka suara hendak menjawab, dia kembali melontarkan pertanyaan. Kali ini membuatku tidak bisa memikirkan jawaban apapun.

     "Aku tahu kau bukan berasal dari dunia ini, siapa kau? Kenapa kau kemari, huh? "
Bagaimana dia bisa tahu?

¤¤¤

     Matahari sudah menampakkan diri seutuhnya, menyinari seluruh pohon dan rumah-rumah jamur ini--sepertinya aku memang harus terbiasa menyebut bangunan jamur ini rumah. Saat ini aku tengah duduk dibingkai jendela bagian samping, jika dilihat dari luar ukuran jendela ini paling hanya 30 cm, tapi dilihat dari dalam tinggi jendela ini bisa dua kali lipat tinggi badanku. Ajaib bukan?

     Aku tengah duduk bersandar pada satu sisi jendela menatap keluar, pemandangan deretan rumah-rumah jamur dan pepohonan yang tinggi menjulang. Sesekali gerombolan burung terbang melintas, ada beberapa yang bertengger di dahan pohon, satu dua diantaranya malah diatap rumah jamur itu. Di kejauhan dapat kulihat tumpukan batuan gapura tadi--burung elang yang bertengger diatasnya telah hilang. Mungkin terbang mencari mangsa.

     Aku mengeluh dalam hati, semua yang ada disini benar-benar tidak masuk akal. Sudah jelas dunia ini bukanlah dunia normal tempat aku tinggal bersama keluargaku. Athria. Tempat yang bahkan tidak pernah terlintas dibenakku sama sekali, dan sekarang disinilah aku terjebak didalamnya. Tanpa tau bagaimana caraku datang, apalagi  kembali.

     "Ini minumlah," Prillia datang memecah lamunanku. Tubuhnya yang kecil seukuran ibu jari itu membawa sebuah cangkir kayu yang ukurannya segenggaman tanganku. Jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya sendiri. Dengan sayapnya yang berkilauan dan cahaya yang memancar dari tubuhnya serta tangannya yang kecil mungil itu sanggup membawa terbang benda yang ukuran jauh lebih besar dan berat.

Kuterima cangkir itu segera, takut kalau dia keberatan membawa beban yang sangat besar untuknya, meskipun kulihat dari raut wajahnya dia tampak tidak masalah sama sekali.

YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang