Bagian 3.

46 14 8
                                    

      "Kakak yakin?" Tanyaku antusias saat sudah masuk ke dalam toko dan Kakak langsung menuntunku ke tempat kucing peliharaan.

      "Tentu saja. Pilihlah yang kau suka," jawabnya berlagak seolah akan membelikanku seluruh isi toko.
Kakak tahu persis aku sangat menginginkan kucing sejak kecil. Aku pernah merajuk seharian karena meminta dibelikan kucing tapi Papa tak mau membelinya. Aku sering meminta Kakek untuk menemaniku ke taman hanya untuk melihat kucing peliharaan orang lain atau bermain dengan kucing liar. Bahkan, itu kali pertama Kakak gagal membuatku tertawa dan ia tidak dapat cokelat.

     Aku terlalu girang dan antusias sampai tidak bisa memilih. Tempat ini berisi banyak kucing dengan beragam warna dan jenis yang membuatku ingin membawa pulang mereka semua. Setelah lama berpikir dan melihat-lihat akhirnya aku memutuskan pilihan pada seekor anak kucing berjenis nabelung berusia sekitar lima bulan. Memiliki rambut panjang mirip kucing persia berwarna biru keabu-abuan dengan ujung berwarna perak yang lembut. Matanya berwarna hijau mint persis seperti mataku.

     "Aku memilih yang ini," kataku pada Kak Farad yang dibalas dengan anggukan setuju.

¤¤¤

     Matahari bersinar cerah sepanjang perjalanan pulang tadi. Sisa-sisa rintik hujan mulai menguap dari dedanuan pohon. Aku masih asyik bermain dengan kucingku yang kuberi nama Popo. Aku tengah memberinya makan di teras rumah sambil menikmati pemandangan halaman rumah yang cukup luas. Ada banyak tanaman yang disusun begitu rapi oleh Mama. Bahkan Papa membuat jalan setapak di tengah taman menuju ke rumah. Ditimpa sinar matahari siang itu, tanaman-tanaman basah yang mulai layu diguyur hujan nampak begitu segar dan berkilauan. Aku menarik napas perlahan sambil sesekali menikmati pemandangan yang cantik ditemani kucing lucu di sampingku.

     "Huuuhhh... segar sekali udara hari ini. Aneh, saat kita keluar dari toko cuaca mendadak cerah," ucap Kakakku yang baru keluar menyusulku ke teras. Aku hanya membalas keheranannya dengan senyum.

Aku sebenarnya juga bingung, saat keluar toko peliharaan tadi cuaca sudah cerah. Matahari sudah bersinar terang dan awan mendung sudah digantikan oleh awan putih. Aneh memang, tapi aku tak mau memikirkan hal itu sekarang. Mungkin saja awan-awan mendung itu sudah bosan mengguyur kota ini dan memilih untuk pindah ketempat lain.

     "Apa kau senang sekarang?"

     "Ya begitulah. Terimakasih sudah menghiburku, meskipun tak akan ada lagi yang memberimu imbalan cokelat," Kakak hanya terkekeh yang kubalas dengan memutar bola mata.

Dia tersenyum. Matanya terpejam dan wajahnya ditengadahkan menghadap sinar matahari langsung. Dapat kulihat dengan jelas garis wajahnya yang tajam, dia masih tersenyum dengan posisi yang sama. Entah apa yang dia pikirkan. Mungkin sedang memikirkan anak-anak perempuan di sekolah yang mengidolakannya.

Kakak adalah salah satu murid populer di sekolah. Berwajah tampan, ramah dan sangat berbakat dalam permainan basket. Banyak murid-murid perempuan akan bersorak-sorak menyemangatinya dari pinggir lapangan. Ada yang berteriak-teriak histeris sampai yang membawa poster mini berisi gambarnya. Itu adalah hal yang menjijikan. Maksudku, mereka belum tau saja kebiasaan Kak Farad di rumah. Sebagai adik yang tinggal bersamanya selama lima belas tahun, Kakak bukanlah sosok laki-laki impian seperti dimata para penggemarnya.

      Bukannya aku iri dengan ketenaran Kakak. Aku sebenarnya cukup dikenal banyak orang sebagai adik "angkat" Kak Farad. Yaahh karena aku sangat berbeda dengannya jadi banyak orang yang tak percaya kalau kami adalah saudara kandung. Penggemar Kakak menganggapku sebagai kurir suruhan mereka. Aku sering dimintai tolong untuk mengantarkan surat cinta, hadiah, atau sekadar salam untuk Kakakku. Aku sempat menolak, aku lelah tentu saja. Juga merasa risih dengan murid perempuan yang begitu gencar mencari perhatian Kakak. Bukan hanya Kakak kelas, murid-murid perempuan dari angkatanku juga sama. Mereka agresif sekali dengan Kakak, aku bingung kenapa Kak Farad sama sekali tidak merasa terganggu? Apa mungkin dia bangga dijadikan idola anak- anak perempuan?

     "Kau melihat apa?" Kakak membuka matanya dan menoleh memergoki aku yang sedari tadi mengamatinya tanpa sadar.

      "Ti..tidak tidak ada," ucapku menggeleng yang dibalas senyuman olehnya. Tangannya beralih menggendong Popo-kucingku sambil megelusnya.

"Kakak,"

"Hm,"

"Apa hadiah spesial dari Kakek untuk ulangtahunku?" Kakak mendongak mematapku, masih mengelus-elus Popo di pangkuannya.

"Kau ingin tahu?" Aku mengangguk agak ragu.

"Akan kuberitahu nanti malam,"

YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang