Bagian 1.

76 19 12
                                    

        Ibuku bilang sebuah perbedaan adalah anugerah. Tapi tidak untukku, tinggal di negara dengan iklim tropis seharusnya aku punya warna kulit eksotis dan rambut hitam pada umumnya. Seperti kakakku misalnya dia punya rambut hitam, kulit sawo matang seperti Papa dan dia beruntung dianugerahi bola mata berwarna cokelat tua persis seperti Papa. Sedangkan Mama, dia punya bola mata hazel, kulit berwarna kuning langsat dan rambut lurus sepinggang yang sama legamnya dengan Papa dan kakakku. Sedangkan aku, dianugerahi kulit putih pucat kekuningan, bola mata berwarna hijau mint, rambut cokelat sebahu dilengkapi bintik-bintik diwajah. Sekilas orang-orang akan mengira aku adalah keturunan orang-orang subtropis, tapi jika dilihat lebih dekat aku berbeda dengan mereka. Bisa dibilang, aku tidak masuk ras manapun.

Kelahiranku sempat menuai perdebatan keluarga, dugaan kalau aku lahir dari ayah yang berbeda, atau mungkin aku adalah bayi yang tertukar, atau aku adalah anak angkat Papa dan Mama. Semua menolak kehadiranku saat itu. Tapi perdebatan dalam keluarga itu berakhir dengan bukti tes DNA kalau aku adalah anak kandung mereka. Satu-satu nya pertanyaan yang menghantuiku seumur hidup ini adalah kenapa aku berbeda?

¤¤¤

      Gerimis mengguyur tempat ini. Dinaungi payung hitam, Aku menatap gundukan tanah yang baru digali dan ditutup lagi setelah seseorang berbaring didalam sana. Tetesan air dari langit yang sepertinya ikut menangis menjadi lagu pengiring  pagi ini. Samar-samar kudengar isakan Mama yang tak kuat lagi ditahan. Taburan bunga yang menghiasi tanah itu menjadikannya begitu indah. Begitu damai orang yang terkubur disana, pikirku. Ucapan turut berduka cita tak henti-henti mengalir. Kulihat Mama membalas ucapan mereka dengan terimakasih, sesekali membalas pelukan singkat dari kerabat yang meminta kami untuk ikhlas.

      Aku tersenyum tipis, membalas ucapan bela sungkawa dari mereka yang menyalamiku. Ucapan mereka yang berusaha menghiburku berakhir dengan sia-sia. Hatiku terlanjur sakit ketika di hari ulang tahunku Kakek, sosok yang senantiasa menjagaku sejak kecil telah pergi ke hadapan Tuhan.

      "Percayalah, dia menyayangimu," bisikan lembut dari Kak Farad membuatku mengangguk singkat.

      "Iya, aku tahu,"

Kakek berjanji akan memberiku hadiah ulang tahun spesial saat usiaku lima belas tahun. Mungkin ini hadiah spesial yang Kakek janjikan, pikirku. Aku tidak berterima kasih untuk itu. Aku menghela napas perlahan. Mencoba menyingkirkan sesak yang kian menyakitkan dada.

      "Berjanjilah pada kakek, kau akan tumbuh menjadi gadis yang kuat."

      Sepulang dari pemakaman Kakek aku langsung menuju kamar, meluapkan tangis yang sedari tadi kutahan. Aku tak mau membuat Mama semakin sedih, meskipun aku juga sama kehilangannya dengan Mama.

     Kakekku adalah sosok yang kuat. Beliau masih bisa berjalan-jalan setiap pagi di taman dekat rumahku meski sudah memasukki usia sembilan puluh tahun. Beliau lah yang banyak mengajari aku dan menjagaku saat kedua orangtuaku sibuk bekerja. Beliau juga satu-satu nya orang dalam keluarga yang menyambut kelahiranku dengan bahagia tanpa sedikitpun curiga atas perbedaan yang aku miliki.

     Hujan semakin deras mengguyur diikuti kilatan cahaya terang di langit yang diakhiri dengan suara gemuruh. Seolah juga sedang merasakan yang aku rasakan saat ini. Masih dengan sejuta kenangan bersama Kakek aku menenggelamkan kepala di balik bantal, menumpahkan sisa-sisa air mata yang kumiliki sebelum akhirnya lelah dan terlelap.

     "Berjanjilah pada kakek, kau akan tumbuh menjadi gadis yang kuat."

      Bagaimana bisa? Aku tidak bisa.

YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang