Bagian 4.

36 12 7
                                    

Tok tok!

     "Kau sudah tidur?" Ucap Kak Farad sambil mengintip ke dalam kamarku malam itu. Aku menggeleng. Tentu saja aku belum tidur, tepatnya aku tidak bisa tidur karena terlalu penasaran.

Aku menunggu Kakak setelah makan malam di kamar, dia tak kunjung menemuiku dan bertingkah seolah tidak punya janji akan memberitahuku hadiah spesial dari Kakek. Terbukti sejak siang tadi, dia tidak membahas tentang kado itu lagi sampai makan malam keluarga pun dia tetap bertingkah biasa-biasa saja tanpa membahas apapun yang berkaitan dengan Kakek dan hadiah. Bahkan, saat Papa dan Mama menanyakan perihal kado untukku Kakak tampak tidak tertarik sama sekali.

"Aku ingin kado yang spesial," jawabku saat Papa dan Mama bertanya tentang hadiah yang kuinginkan.

Aku sengaja menekankan pada kata 'spesial' sebagai kode untuk Kak Farad. Tapi nyatanya dia tetap santai menyantap sisa potongan daging ayam di meja makan.
"Potongan terakhir adalah bagianku," begitu ucapnya yang membuatku melotot saking jengkelnya.

Ini sudah jam sepuluh malam dan Kakak baru saja mengetuk pintu kamarku.

"Kenapa Kakak lama sekali sih?" Tanyaku jengkel.

"Hssstt!" Kakak memberi isyarat agar aku diam.

"Jangan berisik! Papa dan Mama bisa dengar nanti," ucap Kakak setengah berbisik.

"Kenapa memangnya?" Tanyaku acuh, meskipun aku menurutinya dan mengecilkan volume suaraku. Tapi Kakak tak menjawab, dia langsung menarikku dan membawaku turun.

"Kita mau kemana?" Tanyaku makin penasaran saat kami mengendap-endap menuju ruang bawah tanah.

"Kakak, aku tidak mau kesana," bisikku sambil meronta minta dilepaskan. Tapi genggaman Kakak cukup kuat untuk menahanku.

"Berisik! Sudah ikut saja dasar penakut," balasnya sambil menahanku dengan satu tangannya sementara tangan yang lain sibuk merogoh saku piyamanya mencari sesuatu.

Aku menelan ludah, memerhatikan pintu ruangan bawah tanah yang menyeramkan. Dibenakku berputar-putar apa yang ada di dalam sana. Jangan sampai bayanganku benar soal keberadaan mayat atau tulang-tulang manusia atau yang lebih parahnya lagi adalah arwah gentayangan yang akan mengutuk keluarga ini.

Jantungku berdebar kencang saat Kakak telah menemukan kunci dan memutarnya dilubang pintu. Aku gemetar dan keringat dingin mulai mengalir dikeningku.

"Ayo masuk," kurasakan Kakak menarikku masuk ke dalam ruangan bawah tanah itu. Aku hanya bisa menutup mata pasrah saat Kakak membawaku masuk, bisa kurasakan hawa di dalam ruangan itu begitu dingin. Dan, gelap.

KLIK!

Terdengar suara saklar ditekan dan seketika ruangan terasa terang dan hangat. Aku membuka mata perlahan, takut kalau-kalau ada wajah menyeramkan yang muncul di depan wajahku. Tapi aku salah. Ruangan ini sama sekali tidak menyeramkan. Ditata sedemikian rupa agar terlihat rapi dan kentara sekali tempat ini sering dibersihkan. Kira-kira luasnya 5 x 5 meter. Diterangi dengan lampu gantung berwarna cokelat kekuningan yang menghasilkan cahaya seperti lentera jaman dulu. Di sudut ruangan ada rak-rak buku tua yang sampulnya mulai mengelupas, buku-buku disana tebal-tebal dengan kertasnya yang berwarna kekuningan, lapuk dimakan waktu. Disisi lain ada lemari kayu besar berwarna hitam yang catnya berkilau ditimpa cahaya lampu. Sementara sisanya, ruangan ini kosong.

"Mau diam saja di situ atau mau ikut aku kemari?" Tanya Kakak yang berjalan mendahuluiku menuju lemari besar berwarna hitam tadi.

Aku mengikutinya sampai ke depan pintu lemari. Aku terperangah saat melihat isi lemari. Disana ada berbagai benda aneh namun mengagumkan. Sebuah jubah berwarna silver berkilauan terkena sorot lampu, di sampingnya ada jubah yang sama berwarna hitam yang kelihatannya keduanya dibuat dari bahan yang berbeda. Kain seperti itu tidak ada di kota ini.

Bahannya begitu lembut, tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, juga ukurannya yang tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Pokoknya kedua jubah itu terlihat pas dimata kami.
Di sampingnya, ada sebatang kayu seukuran ranting yang diukir dengan begitu detil dan rumit. Bentuknya seperti tongkat sihir menurutku. Di sudut lemari juga ada benda berbentuk sapu lidi dengan gagang kayu yang agak bengkok berwarna hitam. Terakhir, ada sepasang pakaian untuk laki-laki dan perempuan. Pakaian laki-laki berbentuk kemeja putih dan celana hitam panjang dilengkapi sepatu mirip pantofel tapi sedikit berbeda karena ujung sepatu itu melengkung ke atas seperti cula. Sementara pakaian perempuan berupa dress berwarna burgundy dilengkapi sepatu boot hak tinggi dengan warna senada.

     "Apakah ini hadiahnya?" Tanyaku dengan tatapan takjub.

Kak Farad berjalan kearah lemari dan mengambil sebuah kotak hitam dari sudut lemari. Benda itu luput dari penglihatanku karena warnanya yang seolah menyatu dengan warna lemari.

     "Ini untukmu," Kakak menyerahkan kotak hitam itu yang kuterima dengan ragu.

     "Apa ini Kak?" Tanyaku saat menerima kotak yang terbuat dari kayu itu. Rasanya agak berat. Apa yang ada didalamnya?

     "Aku tidak tahu, Kakek memberikannya padamu. Aku tidak berhak membukanya,"
Dengan keraguan yang memenuhi diriku, kuberanikan diri membuka kotak hitam itu. Ternyata didalamnya ada sebuah buku tua bersampul kulit berwarna merah hati. Disudut buku itu dilapisi logam berwarna emas-atau memang itu logam emas sungguhan, aku tidak tahu.

Di halaman pertama buku itu tertulis sebuah kalimat yang ditulis dengan tinta emas-atau tinta berwarna emas aku juga tidak tahu.

Maciya dan Para Penyihir, Kemarin.

Keningku berkerut saat membacanya. Apa maksudnya? Aku membalik halaman berikutnya yang berisi simbol-simbol aneh yang tak kumengerti. Simbol itu tampak seperti sebait kalimat yang sayanganya tidak bisa kubaca. Aku membalik halaman berikutnya tapi hanya lembaran kosong berwarna kekuningan yang menandakan betapa tuanya kertas di buku itu. Aku menoleh menatap Kak Farad, seolah tahu maksud tatapanku Kakak langsung menggeleng tanda bahwa dia juga tidak tahu.

YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang