Bagian 5.

35 12 9
                                    

         Hari pertama masuk sekolah setelah liburan akhir semester. Aku turun dari mobil bersama Kakak. Seperti biasa, akan ada banyak murid perempuan dari berbagai kelas dan jurusan yang menghampiri Kakak. Berbasa-basi menanyakan kabar, bagaimana pengalaman liburan dan banyak pertanyaan aneh lainnya. Sesekali Kakak akan menimpali pertanyaan mereka, berasa sudah jadi artis terkenal saja. Aku terjebak dikerumunan penggemar Kak Farad, terhimpit puluhan badan murid-murid yang membuatku sesak napas.

Sial! Batinku.

Aku mencoba merangsek menembus gerombolan penggemar fanatik Kak Farad dengan susah payah. Setelah berhasil keluar aku mencoba mengatur napasku.

     "Dasar! Memangnya aku nggak keliahatan apa?!" Kesalku.

     "Hai Sa!" Seseorang menepuk pundaku yang membuatku segera menoleh.

     "Oh, hai Jingga," jawabku sedikit terengah. Saat ini aku dalam posisi membungkuk memegang lutut mencoba mengatur napas setelah berhasil bebas melepaskan diri dari penggemar Kak Farad.

Jingga, teman sebangkuku sejak semester lalu. Dia adalah gadis cantik bermata cokelat terang, berambut lurus sebahu sepertiku. Bedanya miliknya berwarna hitam. Hari ini rambutnya diikat kuda membuatnya terlihat makin cantik. Apalagi bibirnya yang sudah pink alami membuat senyumnya makin manis. Makin cantik saja. Pantas, Kak Farad menyukainya.

     "Baru keluar dari kerumunan lagi?" Tanyanya ceria.

     "Ya gitulah," jawabku kesal. Dia tertawa riang sambil menyodorkan botol minumnya.

     "Ini, minum dulu," kuterima minumannya dan mengucapkan terimakasih. Lalu mengajaknya berjalan ke kelas.

     "Sepertinya penggemar Kak Farad makin banyak ya?" Tanyanya dengan candaan. Aku tersenyum meledek.

     "Kamu cemburu?" Tanyaku yang sontak membuat wajahnya merona. Aku tertawa saat melihatnya tersenyum malu.

     "Ih apaan si!" Jawabnya malu.

     "Tenang, Kakak pasti suka sama kamu juga. Percayalah," aku makin girang melihatnya menutup wajah karena malu. Pasti sekarang sudah semerah tomat.

¤¤¤

     Saat bel istirahat berbunyi, aku langsung menarik Jingga ke kantin. Seperti biasa kami akan berbagi tugas memesan. Aku akan memesan nasi goreng dan Jingga yang memesan es teh manis. Setelah itu kami akan duduk di bangku pojok kantin yang dekat dengan jendela, tempat favorit ditengah sesaknya murid-murid yang mengantri mendapatkan jatah makan.

      "Oh iya Sa, selamat ulang tahun ya. Aku turut berduka atas Kakekmu," ucap Jingga saat kami sudah duduk dan memulai obrolan.

     "Terimakasih," jawabku singkat. Mungkin karena tidak ada kata lain yang pantas untuk menanggapi pernyataan Jingga. Kulihat dia mengangguk takzim.

     "Boleh aku bergabung?" Suara yang familiar ditelingaku membuatku memutar bola mata kesal.

      "Kenapa Kakak kesini memangnya tidak ada bangku lain?" Tanyaku tak setuju.

      "Yahh kelihatanya begitu," jawabnya santai sambil duduk di sebelahku.

     "Kenapa duduk di sini, kenapa tidak di samping Jingga saja?!" Geramku

     "Aku tidak mau mengganggunya makan," jawabnya yang dibalas dengan senyuman malu dari Jingga. Pastilah mereka sedang menyembunyikan perasaan malu. Aku tahu ini hanya akal-akalan Kakak agar bisa dekat-dekat dengan Jingga.

     "Masalahnya aku yang terganggu. Sekarang semua anak perempuan jadi memerhatikan kita tahu,"

Kak Farad tampak tak ambil pusing dan mulai menyantap bakso kuahnya. Melihat reaksinya yang begitu santai lantas aku segera menghabiskan makananku agar bisa cepat pergi dari sini.

     "Bagaimana dengan bukumu? Kau sudah memecahkan kodenya?" Tanya Kak Farad tiba-tiba. Mungkin untuk mencairkan suasana.

     "Belum. Mungkin nanti," jawabku asal.

     "Buku apa?" Suara Jingga terdengar penasaran.

     "Kau belum cerita?" Tanya Kakak sambil memgangkat sebelah alisnya tanda keberatan. Aku menggeleng sebagai jawaban. Tapi buru-buru kutambahkan

     "Buku hadiah ulang tahunku. Nanti saja aku ceritakan di kelas," aku tidak mau membiarkan Kak Farad yang bercerita pada Jingga. Bukan apa-apa, kalau dia yang cerita bukan hanya soal buku aneh itu tapi juga saat aku ketakutan masuk kedalam ruang bawah tanah. Kak Farad akan senang kalau berhasil mempermalukan aku di depan sahabat satu-satunya yang kupunya.

¤¤¤

     "Maciya dan para penyihir, kemarin. Apa maksudnya?" Tanya Jingga sama bingungnya dengan aku saat pertama membaca buku itu. Sekarang kami sedang berada di perpustakaan sekolah karena kebetulan jam pelajaran biologi kosong karena Pak Jay sedang ada rapat di kantor kepala sekolah.

     "Aku juga bingung. Yang aku temukan hanya kumpulan simbol-simbol aneh dihalaman selanjutnya,"

     "Ini simbol apa Sa?"

     "Entahlah, aku sudah mencoba berbagai cara untuk mengartikan simbol-simbol ini tapi hasilnya nihil," jawabku setengah menyerah. Aku sangat ingin tahu apa arti dari kumpulan simbol-simbol itu. Pasti ada alasan kenapa Kakek memberiku buku itu. Aku yakin. Tapi aku sudah membuka berbagai referensi tentang penyihir dan maciya tapi tidak ada satupun petunjuk kutemukan. Dan sebenarnya maciya itu apa?

     "Jangan menyerah, aku pasti akan membantumu," ucap Jingga tulus. Kami sudah berteman sejak SMP dia adalah satu-satunya teman yang kupercaya. Meskipun berbeda sekolah dan kami jarang bertemu. Selain itu, dia tulus mau berteman denganku tanpa ada motif agar bisa dekat-dekat dengan Kakakku. Aku juga senang karena dia adalah tipe orang yang menyukai dalam diam. Jadi dia tidak pernah bertindak agresif ataupun murahan seperti yang dilakukan para penggemar Kak Farad.

      "Terimakasih,"

Drtttt....drrrrttttt

Ponsel yang kuletakkkan di meja bergetar. Segera kuraih benda itu sebelum ditegur petugas perpustakaan karena suaranya cukup bisa didengar banyak orang di tempat hening seperti ini, pesan dari Kak Farad.

'Ayo kita pecahkan simbol itu nanti malam,'

YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang