Part 2

265 46 0
                                    

Jung Hoseok kecil berdiri di depan kaca besar di kamarnya. Hari ini ia belajar sutu hal yang baru, tarian baru untuk pementasan kelulusan kakak tingkatnya. Tubuhnya dengan lihai meliuk – liuk sambil bergumam membentuk irama sendiri. Berkali – kali ia mengulang gerakannya hingga ia merasa puas. Tak peduli keringat sudah membuat baju bagian belakangnya basah.

CEKLEK

Tiba – tiba Hoseok terdiam mengetahui ada orang yang masuk ke dalam kamarnya.

“Eomma... aku malu..” Rengeknya manja lalu menyilangkan kakinya di atas kasur.

“Kenapa harus malu ? Eomma hanya ingin melihatmu latihan saja,” Jawab Eommanya jujur.

“Tidak mau, nanti aku jadi gugup dan lupa gerakannya.”

Eomma Hoseok tersenyum melihat tingkah laku putranya yang kini merengek memintanya untuk pergi. Namun ia datang tidak hanya untuk melihatnya latihan menari seperti yang ia katakan. Ia ingin memeluk putranya dengan sangat lama. Pasalnya lambat laun, Hoseok juga akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga kecilnya. Eomma Hoseok ingin memberikan kasih sayang penuh sebelum hal yang ia takutkan benar – benar terjadi. Perceraian.

“Hoseok sayang, sini nak.”

Hoseok sedikit kebingungan dengan sikap eommanya kali ini. Namun ia menuruti perkataan eommanya untuk mendekat tanpa banyak pertanyaan. Lalu ia tenggelam dalam pelukane erat dan menghangatkan. Hoseok merasakan ada tangan lembut yang meguap surai rambutnya dengan sayang. Tanpa Hoseok kecil sadari, ada bulir – bulir bening yang jatuh dari wanita yang memeluknya.

***

Pagi ini, sudah berkali – kali Jimin mengetuk pintu hyung-nya bermaksud mengajaknya sarapan. Namun karena tidak ada jawaban ia akhirnya membuka pintu kamar hyungnya yang tidak terkunci. Ia bisa melihat Hoseok tidur dengan selimut yang menutupi setengah badan. Jujur saja, Jimin jarang sekali masuk ke kamar Hoseok. Dan kali ini ia sedang di dalamnya, mengamati setiap sudut ruangan hyungnya yang didominasi oleh warna cokelat, laptop di meja masih terbuka dengan kertas yang berserakan di sampingnya, ada juga gumpalan kertas yang berserakan di lantai.

Jimin mengambil salah satu kertas putih dengan tinta biru yang tergeletak di atas keyboard laptop begitu saja. “Mama” Gumamnya getika membaca tulisan pertama di kertas itu, mungkin itu judulya.

time travel 2006nyeonui hae
chume michyeo eomma heorittireol jollamaessji
appa bandeedo maeil dallyeodeul ttae
aranggoshaji anho ttuiwojusin
kkumui jogakbe
but mollassji eommaui keun botaemi
pyeolchyeo issnun jireumgil anin
bijeul jwin i kkumui gil
(always) munjeu moneu eomeonin gyeolguk
(go away) tajiro ilhareo gasyeosseo
~dst~

“Woah... Daebak !” Ucapnya setelah membaca seluruh isi kertas yang ia pegang, matanya juga terbuka lebar lantaran kagum. Ia sampai lupa apa tujuannya kemari karena ia masih terus membaca isi kerta – kertas yang lain.

“Boy Meet Evil ?”

Sebenarya Jimin juga bingung itu kertas apa. Puisi ? Lagu ? entahlah ia hanya bisa mengira – ngira tanpa tahu kebenarannya. Namun ia kembali lagi melihat kertas dengan tinta biru tadi, membacanya sekali lagi, lalu ingatannya kembali pada kejadian tujuh tahun silam. Ketika ia masih bisa berlari, ketika ia masih bisa menghadap kaca besar sambil membuat gerakan yang indah.

***

Jimin berusia sepuluh tahun kala itu, anak laki – laki yang beru saja kehilangan ayahnya dua tahun sebelumnya, lalu ibunya memutuskan untuk mencari pasangan hidup yang lain, bagaimanapun juga ia membutuhkan seorang pendamping, dan jimin membutuhkan sosok ayah yang bisa melindunginya.

“Park Jimin..” Sapanya pada anak laki – laki yang katanya akan menjadi hyungnya.

“Jung Hoseok,” Balas anak itu sambil menerima uluran tangan dari anak yang katanya akan menjadi adiknya itu.

“Ayo kita berbagi. Aku akan berbagi ibuku denganmu, dan kau harus membagi ayahmu denganku,” Ucap Jimin begitu lugunya dan Hoseok hanya mengangguk menyetujui.

Itulah awal mereka menjadi satu keluarga. Keluarga yang saling berbagi kasih sayang dan pelukan. Keluarga yang selalu membantu beban di pundak setiap anggotanya. Keluarga yang selalu melempar senyum bagaimanapun keadaannya.

Hoseok dan Jimin memiliki hobi yang sama, yaitu menari. Hingga saat ini di rumah mereka terdapat studio khusus latihan menari untuk mereka berdua. Setiap hari sepulang sekolah, mereka pasti menghabiskan waktu di sana, membuat gerakan baru lalu mencobanya hingga benar – benar bagus.

BRUK

“Akh..”

Jimin terjatuh lagi. Tidak tersandung, tidak terkena kaki Hoseok, tidak pula mengantuk.

“Kau jatuh lagi Jimin,” Ucap Hoseok yang masih meneruskan tariannya. Seakan ia sudah biasa melihat Jimin terjatuh di sela – sela tarian mereka.

Tak ada jawaban dari jimin, ia hanya meringis terus mencoba untuk bangkit namun yang ia rasakan saat itu adalah kakinya yang bergetar. Ketika ia memaksakan diri untuk bertumpu pada kedua kakinya, ia terhuyung ke samping. Ia terjatuh lagi. Hoseok yang melihat itu pun merasa khawatir lalu menghentikan tariannya.

“Apakah sakit di kakiku ini sudah bertambah parah, Hyung ?” Tanya Jimin pada Hoseok.

“Apa kau merasa begitu ?”

“Apa itu artinya tak lama lagi aku tidak akan bisa menari lagi ?” Bukannya menjawab pertanyaan Hoseok ia malah lanjut bertanya “Apa aku akan lumpuh ?”

Setelah kejadian itu, tak ada lagi suara musik di ruangan dance. Tak ada lagi peluh keringat yang menetes di lantai, dan juga tak ada yang peduli dengan kaca besar di sana. Kini penyakit Jimin mengenai kakinya sudah benar – benar sangat parah. Ia memiliki kelainan dimana ia akan terjatuh dengan tiba – tiba karena kakinya yang mati rasa dalam sekejap dan tak bisa digerakkan.

Dan kali ini, Jimin hanya bisa mendorong kursi roda kesana – kemari. Meninggalkan mimpinya untuk menjadi seorang penari, meninggalkan rencana awal hoseok dan jimin untuk menari bersama di acara kelulusan sekolah menengah mereka. Dan itu semua hanyalah menjadi harapan yang harus mereka pendam entah hinggga kapan.

***

Jimin menggelengkan kepalanya setelah kepingan masa lalu itu terlintas di kepalanya. Ia sadar jika mengingat hal itu akan semakin membuatnya merasa lemah. Namun sampai kapanpun ia tak akan pernah bisa melupakan kenangan indahnya dengan menari. Karena itu adalah sesuatu yang sangat ia inginkan. Dan kini, setelah ia kehilangan kemampuan untuk berjalan, bukan hanya dia yang berhenti untuk menari. Melainkan Hoseok juga ikut berhenti. Kini kenangan dalam menari yang mereka rasakan telah hilang, sengaja memang untuk menghapus kenangan itu. Semua itu Hosoek lakukan untuk Jimin. Ia tak mau melihat adiknya mearasa sedih karena melihatnya menari sedangkan Jimin hanya bisa memandang. Akan lebih baik jika tak ada lagi tarian.

“Hyung... kau tidak sarapan ?” Jimin menepuk pelan pundak Hoseok. Timbul sedikit kekhawatiran di raut wajah Jimin lantaran melihat begitu banyak peluh keringat di wajah Hoseok.

“Hyung... apa kau sakit ?” Ketika menyentuhkan tangan ke dahi Hoseok, semuanya terlihat baik – baik saja. Namun itu malah membuat Jimin semakin khawatir.

Hoseok sudah bangun. Ia sadar akan kehadiran adiknya. Ia juga ingin sekali menjawab semua pertanyaan Jimin sejak tadi. Ia ingin sekali membuka matanya lalu mendorong kursi roda Jimin menuju ruang makan. Sialnya ia masih tidak bisa keluar dari pengaruh obat yang ia minum tadi malam. Rasanya matanya masih berat, kesadarannya belum datang sepenuhnya, bahkan suara Jimin pun hanya samar – samar ia dengar. Hingga ia mendengar seseorang yang ia kenal mengatakan...

“Sudahlah, biarkan saja dia. Ayo kita makan duluan saja.”

“Tidak ! Aku ikut ! Aku ingin makan bersama kalian. Kenapa kalian malah meninggalkanku seperti ini. Tolong aku... aku tidak bisa bangun.”

Hanya ada kata – kata yang tercekat, Hoseok masih belum mampu mengeluarkan suara sama sekali. Padahal ia ingin sekali berada dalam meja bundar bersama orang yang ia sayang, orang yang entah tidak tahu menyayanginya atau tidak.

“Apakah efeknya harus selama ini ?”

Help Me [ ✔️ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang