PROLOG

637 131 99
                                    

Pic of the train station in mulmed.

September 5th.

Cuaca hari ini memang sedang tak bersahabat, berbanding terbalik dengan bulan-bulan kemarin. Matahari pun juga enggan menampakkan sinarnya. Kini, hanya petir dan gemuruh yang saling bersahut-sahutan di luar sana. Awan hitam terlihat berkumpul membentuk suatu koloni pertanda siap untuk berperang layaknya prajurit dalam film-film pada umumnya.

Cuaca yang dingin mulai hampir menyelimuti kota New York. Kabut putih sudah sangat siap untuk menutupi seluruh pandangan membuat kami harus mengendarai dengan perlahan. Suara rintik hujanlah yang sedari tadi mengisi keheninganku dengannya kali ini.

Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang saat ini. Samar-samar dapat kulihat orang-orang sedang berlarian untuk berteduh atau tenggelam dalam antrian segelas cangkir kopi bahkan cokelat panas milik mereka masing-masing. Kulirik sekilas gadis yang kini tengah duduk tepat di sampingku. Manik mata abunya kini juga menatapku. Ia tersenyum sekilas.

Mobil yang kukendarai kuberhentikan tepat di depan stasiun kereta. Layaknya pria pada umumnya, aku membuka pintu untuknya. Tingkahku membuatnya tersipu—menampakkan pipi merah dari antara kulit pucat yang mengelilinginya. Aku berjalan beriringan dengannya, menggenggam tangannya yang kini dibungkus oleh sarung tangan hitam miliknya.

Hawa dingin masih tetap saja menyelimuti kami berdua. Suara sepatu milik kami beradu dengan dinginnya lantai yang dilapisi semen ini. Suasana stasiun kali ini terlihat cukup ramai dengan berbagai orang dan juga tujuan yang berbeda pula.

"Apa kau yakin dengan ini semua?"aku mulai memecah keheningan.

"Kau tak harus pergi meninggalkan kota, Amanda." Kini tatapannya melembut padaku. Lagi-lagi manik matanya yang meneduhkan menatapku dengan penuh arti.

"Kau tak perlu khawatir, Drew. Hanya sebentar saja. Aku berjanji akan kembali setelah ini,"ucapnya lembut.

Gadis brunetteku menggenggam erat tanganku kali ini. Rambut brunettenya sengaja ia gerai hari ini membuatnya semakin menawan dan membuatku enggan untuk melepaskannya. Ya, sangat teramat enggan.

"Apa kau siap?"tanyaku seraya suara gerbong dari kereta yang mulai menyala.

"Sungguh siap."kata-katanya terlontar begitu saja tanpa rasa ragu.

Genggaman tangan kami mulai meregang. Ia pun meringkuk, membungkus tubuhku dengan tubuhnya yang mungil. Tangannya mengelus lembut punggungku.

"Aku akan kembali,"itulah kata-kata terakhirnya sebelum rambut brunettenya benar-benar menghilang dari hadapanku.

Dan gadisku benar-benar menghilang dan tak kunjung kembali hingga sekarang.

Prologue is up. Vote and comment please!! Thank you!!

The Universe [H.S.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang